Pada posting sebelumnya saya menuliskan bahwa poster acara dari GBI Mawar Saron Jakarta menyebutkan penyembahan berhala dengan memasangkan sikap anjali pada posternya, yang seolah-olah bermaksudkan bahwa Buddhis adalah penyembah berhala.
Selain ini, akhir-akhir ini juga beredar sebuah video di medsos yang berisi kotbah dari Ustadz Felix Siauw, yang mengatakan bahwa Buddhis menyembah berhala dengan men-Tuhankan manusia dan membuat patung-patung serupa mereka. Saya akan membagikan link ke video tersebut, tapi siapkanlah kesabaran kalian untuk melihatnya. Semoga video ini tidak menjadi provokator:
Entah takdir atau kebetulan
Tidak lama kemudian, saya menemukan sebuah argumen yang menjelaskan bahwa Buddhis bukan penyembah berhala. Argumen tersebut bersifat tulisan yang saya dapatkan dari seorang teman di facebook.
Terkadang saya mendengar percakapan dari pendeta agama non-Buddha menyatakan bahwa agama Buddha, Hindu dan Konghucu itu menyembah berhala. Kadang saya ingin menjelaskan arti sebenarnya kepada mereka, tetapi kata-kata saya terbelit-belit.
Jadi, saya ingin membagikan argumen tersebut di sini karena saya merasa sangat berguna bagi diri saya untuk menghadapi pertanyaan "berhala" di kemudian hari. Semoga argumen ini juga berguna bagi umat Hindu dan Konghucu juga.
Karena argumen ini sangat panjang, jadi mohon perkenankan saya untuk copy-paste saja ^.^
oleh: Selamat Rodjali
Berikut ini argumen2 untuk menjelaskan bahwa Buddhist tidak menyembah patung batu dan kayu.
Penyembah berhala, apakah tolak ukurnya?
Ketika saya bertemu dengan doktor pribadi saya, beliau bertanya tentang
kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui merek
religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan saya
disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah
dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di surga abadi.
Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya
menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah
benar saya menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya,
saya menghormat dan memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik,
keberhasilan dan sebagainya kepada patung yang terbuat dari batu dan tak
ada bedanya dengan animisme, penyembah batu, religius berhala.
Kemudian saya berkata: "Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan bahwa
perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran saya
sendiri, darimanakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan
memohon¬mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran saya,
tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya."
Maka iapun menjawab
bahwa kebanyakan, orang yang bertingkah laku di depan patung adalah
demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan memohon
kepada patung.
Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum
terjadi di masyarakat: "Ketika rakyat suatu negara mengangkat tangan di
atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu
pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang
itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada bendera
itu?"
Dokter saya menjawab, bahwa menghadapi Bendera Nasional,
mereka tidak menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka
mengenang perbuatan / kualitas jasa para pahlawan sehingga secara
alamiah mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para
pahlawannya."
Kemudian saya lanjutkan: "Mungkinkah penganut
religius yang dokter sebut sebagai penyembah patung/berhala tadi, ketika
berlutut di bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh
sifat-sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung
tadi, atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang
dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang
sedang mengenang jasa para pahlawannya?"
Beliau menjawab bahwa
hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali bertanya: "Apabila sangat
mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan pikiran baik tersebut
apakah masih layak disebut sebagai penyembah patung/berhala, dan jika
saya melakukan seperti itu, apakah tepat pernyataan dokter pertama tadi
bahwa saya adalah penyembah berhala?"
Tentu saja tidak, jawab
dokter itu. Saya melanjutkan: "Mengapa tidak?" Karena penyembah berhala
artinya menyembah dan meminta-minta sesuatu (rejeki, keselamatan, dan
sebagainya) kepada sesuatu yang tidak diketahuinya, demikian jawab
dokter tersebut.
Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan
bertanya kepada beliau: "Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter
berbicara sangat terbuka, oleh karena itu ijinkanlah saya bertanya
secara terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini
tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter dalam
mempraktikkan kepercayaan religius yang dokter anut, acap kali meminta
atau memohon sesuatu (keselamatan, rejeki dsb) kepada sesuatu yang
sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau dengan media
tertentu seperti patung atau hal lainnya)?"
Beliau terdiam
sejenak, kemudian menanggapi: "Selama ini saya telah salah pandangan
tentang kepercayaan religius yang kamu pahami, maafkan saya!
Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala dibandingkan kamu, karena
saya sering kali meminta atau memohon sesuatu (rejeki, kesehatan,
keselamatan dan sebagainya) kepada sesuatu yang memang saya belum/tidak
pahami/ketahui. Maafkan saya, selama ini saya telah salah menilai
kepercayaan religius yang kamu pahami hanya dari penampakan luar.
Ternyata sisi batin si pelaku sangat menentukan kualitas perbuatannya.
Terus terang, saya merasa syukur atas keteranganmu karena untuk
selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu lagi.
Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi
secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki ruang
yang terdapat patung seorang guru besar yang bernama Gotama.
Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun, memang kebanyakan
para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran
religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan
kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke dalam
praktik keliru sebagai pemuja berhala.
Bagi kami, patung guru
besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu bagi para pemula
(bagi yang telah pandai sama sekali tidak memerlukan alat bantu seperti
itu) untuk membangkitkan sikap batinnya seperti yang dimiliki oleh guru
besar Gotama, yaitu:
1. Murah-hati (dermawan)
2. Bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak memakan atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan)
3. Tidak terikat/tidak melekat
4. Bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. Bersemangat
6. Sabar
7. Selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. Memiliki tekad yang kuat
9. Memiliki cinta kasih terhadap semua mahluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)
10. Sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)
2. Bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak memakan atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan)
3. Tidak terikat/tidak melekat
4. Bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. Bersemangat
6. Sabar
7. Selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. Memiliki tekad yang kuat
9. Memiliki cinta kasih terhadap semua mahluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)
10. Sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)
Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak
menjadi masalah. Guru besar kami sama sekali tidak mengajarkan pemujaan
patung guna menuju kebahagiaan sejati.
Tindakan melalui pikiran,
ucapan dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh dari
keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak untuk
merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap mahluk mengharapkan kebahagiaan,
namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, meminta-minta.
Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab
tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat
yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang
buruk pula. Proses sebab akibat ini akan berlangsung selama
kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka berproses secara alamiah.
Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan
saya secara sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh
janji/iming-iming surga dan secara sukarela pula berusaha tidak
melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan ancaman neraka.
Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan kesalahpahaman antar penganut religius.