Sabtu, 22 Oktober 2016

Tanami Kesadaran Saat Dihina

Ghiroh artinya rasa cemburu, dalam konteks beragama adalah konsekuensi dari agama itu sendiri. Orang yang beriman tentu akan tersinggung bila agamanya dihina. Menurut Buya Hamka, jika ghiroh tidak lagi dimiliki bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijajah oleh asing dari segala sisi. Tambahannya, jika ghiroh hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan, karena kehilangan ghiroh sama dengan mati.



Seperti yang tertera pada gambar di atas, contoh-contoh penghinaan terhadap umat Buddha di antara lain seperti membuat patung Buddha bermuka mantan presiden Gus Dur, menduduki dan bergaya tidak sopan terhadap kuburan, serta kerusuhan Tanjung Balai yang menyebabkan wihara dan kelenteng terbakar.

Ironisnya, selama terjadi peristiwa tersebut, Buddhis sepertinya tidak pernah melakukan aksi pembelaan berupa unjuk rasa atau pun meminta pejabat untuk bertanggung jawab, karena unjuk rasa adalah suatu cara menyampaikan kemarahan agar semua orang mengerti perasaan dan pola pikir kita, gunanya supaya pelecehan terhadap diri kita tidak akan terulang lagi.



Jadi, apakah itu artinya keimanan umat Buddha sangat lemah, sehingga tidak ada aksi apa pun yang menyatakan kemarahan Buddhis selama agamanya dilecehkan / dihina seperti itu?

Sebelum itu, kita perlu mengenali kutipan dari Dhammapada di bawah ini:

Kebencian tidak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir apabila dibalas dengan tidak membenci.

Artinya kebencian yang dibalas dengan kebencian akan mengundang kebencian yang baru lagi. Mari kita ambil contoh kerusuhan Tanjung Balai bulan Juli, 2016. Peristiwa tersebut terjadi karena keluhan seorang wanita terhadap pengeras suara di Mesjid, kemudian Muslim beraksi demi membela agamanya dengan melakukan kerusuhan tersebut. Tetapi apabila:

*Muslim membakar wihara untuk pertama kali, kemudian Buddhis membakar mesjid untuk pertama kali, maka:
*Muslim akan membakar wihara untuk kedua kali, kemudian Buddhis akan membakar lagi mesjid untuk kedua kali, kemudian:
*Muslim akan membakar lagi wihara untuk ketiga kali, kemudian Buddhis........ dan seterusnya.

Dengan kata lain, perasaan dendam itu tak terhingga.



Seharusnya kita tanamkan kesadaran diri

Sikap cemburu adalah suatu emosi yang merujuk pada hal-hal yang negatif, perasaan terancam, takut dan risau kehilangan sesuatu. Penyebab dari perasaan cemburu ini, menurut saya, adalah pikiran mau menang sendiri.

Dari segala sisi, sikap cemburu sebenarnya tidak membawa dampak yang baik. Sikap cemburu mungkin bisa dijadikan dorongan untuk maju, karena tidak mau dikalahkan, atau disebut pantang menyerah, itu adalah pikiran yang baik. Tetapi akibat dari sikap cemburu adalah hilang kesadaran diri. Cemburu beda dengan pantang menyerah. 

Dalam pikiran orang yang pantang menyerah, dia akan menghadapi segala tantangan dengan sabar, sehingga dia percayakan berkah akan datang suatu saat. Tetapi dalam pikiran orang yang cemburu hanya berisi kemenangan, entah dengan cara apa pun. Atau pun dia akan takut kehilangan sesuatu, sehingga dia juga melakukan apa pun untuk melindunginya.

Tindakan rela mati mempertahankan sesuatu itu penting, tetapi tidak boleh tanamkan sikap cemburu, karena itu menyebabkan Anda hilang kesadaran. Dalam ajaran Buddha, kesadaran adalah sesuatu yang sangat penting, karena kesadaran berperan dalam pengendalian pikiran sehingga niat-niat negatif tidak akan muncul.

Contohnya adalah kerusuhan Tanjung Balai seperti yang diceritakan tadi. Tujuan kerusuhan itu adalah untuk mempertahankan agama Islam, karena Muslim merasa dihina akibat pengeras suara mesjid dilecehkan. Tetapi kerusuhan tersebut belum tentu membela ajaran, tetapi yang pasti akibat kerusuhan tersebut membuat lingkungan masyarakat menjadi panik, bahkan non-Buddhis juga merasa panik. Selain itu juga melelahkan polri, pemadam kebakaran, tukang pembersih dan masyarakat umum. Hal itu terjadi karena kecemburuan dari pelaku dan menutup kesadaran pelaku kerusuhan.

Tetapi dengan menanamkan kesadaran, maka kita bisa menghindari pikiran dan emosi yang negatif. Dengan berkesadaran, kita bisa pahami bahwa pelaku kerusuhan itu hanya sekedar marah, mereka tentu tahu akibat dari kelakuan mereka, hanya saja kesadaran mereka waktu itu tertutup.

Tetapi bukan berarti Buddhis tidak membela agamanya saat kerusuhan itu terjadi. Contohnya, pesan dari Ajahn Brahm yang isi pokoknya menyatakan bahwa:

" Walaupun wihara terbakar, masih bisa dibangun lagi, tetapi jika ajaran tentang cinta kasih dan rasa hormat kepada sesama dan diri sendiri hancur, maka keseluruhan agama itu akan jatuh ke toilet."


Selain itu, penghinaan terhadap suatu agama bisa terjadi juga karena ketidakpahaman. Sebagai contoh, pembuatan patung Buddha bermuka Gus Dur. Niat awal designer tersebut, Cipto Purnomo, adalah karena beliau sangat kagum terhadap sosok Gus Dur dalam menghormati perbedaan-perbedaan rakyat, dan Buddha melambangkan kebaikan, sehingga niat Cipto adalah menyamakan Gus Dur dengan Buddha. Bahkan Cipto juga dengan terang menyatakan bahwa tidak ada niat minta maaf kepada Buddhis, karena menurut dia, niatnya memang bukan mau menyinggung Buddhis


Dilihat dari pakaian Cipto sudah pasti dia tidak kenal Sang Buddha. Dari peristiwa itu, jika kita tanamkan perasaan cemburu, maka kita akan hilang kesadaran, kemudian memberontak dan menghancurkan atau menghina Cipto, bahkan seluruh umat se-agama dengan dia, tapi mungkin dia belum tentu tahu apa kesalahannya dan dia akan memberontak kembali. Tetapi jika kita mempunyai kesadaran, kita patut memberi tahu kesalahannya di mana agar tidak terulang lagi. Buktinya, pameran patung tersebut segera tutup dalam 3 hari (9 Februari 2010 - 12 Februari 2010).


Apakah ada karma buruk?

Karma buruk tentu ada, mungkin kita bisa nampak, maupun yang tidak kita nampak. Tetapi jika kita harapkan karma buruknya adalah cacat atau langsung mati di tempat, maka hati kita sama busuk dengan orang yang menyakiti kita.

Seperti peristiwa kerusuhan Tanjung Balai tadi, mungkin karma buruk yang kita nampak kecil, tetapi sebenarnya karma tersebut akan berjalan terus. Dipenjarakan adalah karma buruk juga, tetapi setelah itu seluruh keluarganya, temannya hingga generasi berikutnya akan diejek oleh masyarakat, bahwa anaknya, saudaranya, temannya atau pun ayahnya adalah orang yang membahayakan.

Jika orang yang suka mengejek orang lain, mungkin kita belum tentu dapat menemukan karma buruknya, tetapi yang pasti sifat buruknya akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Akibatnya, anaknya yang tak tahu apa-apa, malah dikucilkan masyarakat, tidak dapat teman, melakukan kriminal, bahkan durhaka terhadap orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.