Selasa, 08 November 2016

Orang yang Bijak

Jakarta, 4 November 2016, terjadi aksi demo yang menuduh Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bahwa beliau telah melakukan penistaan agama dalam pembicaraannya di Pulau Seribu. Demo tersebut dipimpin oleh Front Pembela Islam (FPI) beserta puluh ribuan Muslim dari berbagai daerah Indonesia.

Pada tanggal itu juga, saya membahas hal itu melalui medsos bersama seorang teman saya yang Muslim. Komentar kita di medsos dimulai dengan candaan, tetapi ujung-ujungnya menimbulkan keraguan saya. Saya menanyakan kepada dirinya, apakah dia juga mengikuti demo tersebut? Dirinya jawab tidak ada ongkos pesawat terbang. Kemudian saya tanyakan lagi, kenapa tidak lakukan saja aksi damai berupa meluruskan ajaran saja, atau laporkan Ahok ke polisi saja, seperti contoh ketika Agama Buddha dihina? (klik sini) Kemudian dia menjelaskan, "Karena ajaran kita beda. Dalam agama kita (Islam), kita harus bergerak membela agama kita ketika dihina."



Artikel ini tidak akan membahas perbedaan antara 2 agama ini, tetapi saya mau membahas apakah FPI yang memimpin demo tersebut telah melakukan sesuatu yang bijak menurut Dhammapada?


"Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, tidak dapat dikatakan sebagai orang adil. Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang bensar dan mana yang salah."

"Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana hanya karena ia banyak bicara, tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci dan rasa takut dapat disebut orang bijaksana."

"Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri."

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa aksi demo tersebut tidaklah bijaksana.

Sesuatu hal atau seseorang belum dapat dikatakan bijaksana apabila terdapat unsur kebencian, kemabukan dan kedunguan. Tanpa disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita telah banyak melakukan kesalahan, walaupun ada kalanya tujuan kita baik. Contohnya, manager yang emosional yang memarahi bawahannya di depan orang ramai tanpa memikirkan apakah bawahannya akan sakit hati tidak, orang tua yang memarahi anaknya dengan kata-kata yang tidak tepat, guru sekolah yang menyudutkan muridnya yang kurang mampu dalam memahami materi pelajaran, tokoh politik yang menyudutkan lawannya dengan menunjukkan ayat suci agama yang dianutnya, dan masih banyak contoh lagi.

Akibat dari ketidak bijaksanaan adalah tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Siapapun yang diomeli di hadapan orang ramai (contoh atas) walaupun ia benar-benar bersalah pasti akan menimbulkan rasa malu dan rendah diri, bahkan akan menimbulkan dendam.

Seperti contoh halnya aksi demo ini, maksud dan tujuannya memang baik, tetapi caranya kurang tepat. Walaupun mereka telah mencapai hasil yang diharapkan, tetapi akibat tindakan tersebut adalah ajaran-Nya semakin direndahkan dan dipandang sebagai pencipta kerusuhan, maka muncullah semakin banyak penghinaan terhadap FPI, bahkan seluruh kalangan Muslim. Mungkin apa yang dilakukan itu berawalan dengan maksud yang benar, tetapi dendam akan tetap menimpa diri mereka di kemudian hari.

Dalam sutta Sappurisadhamma (7 hal pencapaian kebijaksanaan) Sang Buddha menguraikan sebagai berikut:

1. Dharmannuta: memaklumi kebenaran-kebenaran yang pasti timbul

Peristiwa suka dan duka silih bergantian dalam kehidupan kita. Dalam kondisi suka, cita-cita dan harapan kita tercapai. Dalam kondisi duka, apa yang kita harapkan tidak tercapai. Sehingga kita harus menyadari suatu kebenaran bahwa semua di alam semesta ini senantiasa berubah.
Dalam kitab suci Vibhangga dikatakan bahwa dengan menyadari kebenaran ini, hendaknya kita:

* basmi segera kejahatan yang telah muncul,
* mencegah kejahatan yang belum muncul,
* timbulkan kebajikan yang belum muncul,
* pertahankan dan kembangkan kebajikan yang telah muncul.

Kebajikan dan kejahatan di sini maksudnya bukan kelakuan, tetapi hal-hal kecil seperti pemikiran, pergaulan dan lain-lain. Agar lebih jelas, silakan baca nomor seterusnya.


2. Atthannuta: Memiliki pengertian yang benar akan Dharma (kebenaran)

Dengan mengerti bahwa semuanya akan mengalami perubahan, maka yang namanya derita tidak akan menyelimuti diri kita karena kita telah tahu bahwa hal itu akan menimpa diri kita, cuman masalahnya adalah cepat atau lambat. Sang Buddha juga menekankan bahwa jasa kebajikanlah yang akan melindung kehidupan masa depan kita.

Contohnya, ketika kita kaya, kita bantu teman yang kurang mampu dengan iklas. Suatu ketika kita bangkrut, teman kita tadi mungkin akan kembali membantu kita.


3. Attannuta: Mampu mengontrol diri sesuai Dharma (kebenaran)

Dengan ini, kita harus mengerti bahwa kelebihan dan kekurangan kita hendaknya tidak akan menimbulkan masalah maupun kedukaan bagi masyarakat. Kita akan menyadari bahwa kelebihan dan kekurangan kita bukan sebuah logis, tetapi merupakan buah karma yang harus diterima.

Contohnya, Anda pandai komputer, kemudian Anda menciptakan virus komputer untuk menyerang komputer orang lain. Menurut Anda mungkin diri Anda adalah yang paling hebat, tetapi pasti akan ada orang lain yang menciptakan antivirus untuk menyerang virus Anda. Anda harus menyadari bahwa Anda pandai komputer karena belajar dengan tekun, itulah buah karma. Tetapi karena kejahatan Anda tadi, Anda akan dihukum, maka hanguslah buah karma tadi. Sebaliknya, orang yang menciptakan antivirus tadi produknya akan menjadi sangat laku.

Jadi, kita harus berpegang pada prinsip hidup yang bermoral, berkreasi demi keharmonisan, ketentraman dan kesejahteraan umum.


4. Mattannuta: Hidup sesuai dengan kebutuhan

Salah satu noda batin yang harus dihilangkan adalah keserakahan. Orang yang serakah dalam hal ini akan menempuh berbagai cara demi kepuasan akan kehausannya yang tiada batas. Dia tidak segan-segan menghalalkan segala tindakan negatif untuk memenuhi ambisinya. Di dunia ini tidak ada kepuasan dalam penikmatan nafsu indrawi.


5. Kalannuta: Mengatur waktu dengan bijaksana

Orang yang suka mengeluh tidak cukup waktu untuk melakukan ini / itu adalah ciri khas orang yang diperbudak oleh waktu. Pengertian benar dalam hal ini belum terwujud sama sekali.

Dalam hal ini, yang terpenting adalah pengertian yang benar akan jalan tengah yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha di mana waktu dimanfaatkan kebijaksanaan mungkin, demi kebahagiaan diri maupun makhluk yang ada dilingkungannya. (Kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan batin, bukan hal duniawi, baca no.4)


6. Parisannuta: Bisa mengerti kenyataan-kenyataan di lingkungannya

Saling menghormati antar sesama yang kurang mampu, yang miskin, yang bodoh, yang cacat, yang jelek dan sebagainya. Hindarilah diri kita dari keangkuhan, karena kita harus tahu apapun perbuatan kita, itulah yang akan kita terima di hari kelak (karma).


7. Puggalaparopannuta: Mengerti akan Dharma menimbulkan kebijaksanaan

Dengan ini kita bisa mengerti apa yang baik dan apa yang jahat. Dengan memaklumi kelebihan dan kekurangan orang lain, kita akan menjauh dari emosional.


Dari 7 hal pencapaian kebijaksanaan di atas, selain no.4 dan no.5, kita bisa ambil kesimpulan bahwa kenapa Buddhis tidak melakukan demo saat dihina? Karena walaupun dihina, sembahyang masih tetap bisa dilakukan, ajaran kasih masih tetap bisa berlanjut. Tetapi bila kita melakukan demo, maka ajaran kita akan dipandang sebagai pemberontak, cengeng, tidak ada etika, Buddhis akan nampak dungu, bahkan dendam akan tertanam dalam diri sasaran demo yang akan membalas kembali kepada Buddhis di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.