Kamis, 01 Juni 2017

Kiriman Teman: Bhikkhu, Uang, Kappiya & Undangan

Topik yang akan saya bicarakan hari ini, ya hanya sekedar membagi informasi yang saya dapatkan dari kiriman teman. Terima kasih kepada teman saya di facebook ini, yaitu mengenai sedikit informasi tentang Bhikkhu, uang, kappiya dan undangan. Silakan disimak:

Bhikkhu, Uang, Kappiya & Undangan
"Sāpattikassa bhikkhave, nirayaṃ vā
vadāmi tiracchānayoniṃ vā".
Bagi bhikkhu yang memiliki pelanggaran, neraka
atau alam binatang menjadi tujuannya.
( Sārattadīpanī Ṭīkā 3 )

Bhikkhu hidupnya bergantung kepada kedermawanan umat awam dalam hal empat kebutuhan utama seperti jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Pada saat pagi sampai sebelum tengah hari seorang bhikkhu pergi untuk mengumpulkan dāna makanan dari umat yang berkeyakinan atau dayaka (penyokong).

Pada saat umat memberikan makanan, minumanan obat-obatan kepada seorang bhikkhu, jarak antara umat dengan bhikkhu jangan terlalu dekat dan jangan terlalu jauh. Jaraknya 2,5 Hattha atau
kira-kira satu rentangan tangan. Sebaiknya tidak menggunakan alas kaki dan memiliki niat yang luhur.

Setelah tengah hari makanan pokok, makanan ringan serta minuman susu dari kacang-kacangan dan susu dari berbagai binatang tidak boleh diberikan kepada seorang bhikkhu.

Setelah tengah hari seorang bhikkhu dapat menerima dan meminum madu, gula, minyak, mentega, Ghee serta minuman jus dari buah, bunga dan sayuran. 

Jus dari buah yang diperbolehkan seperti jus dari buah jeruk, jeruk lemon, apel, anggur, alpukat, mangga, pisang, asam jawa, pepaya, nanas, lici dan lain-lain. Jus dari buah-buahan ini harus disaring sampai tidak ada ampasnya dan harus cair. 

Jus dari sembilan buah yang berukuran besar tidak boleh diberikan kepada bhikkhu setelah tengah hari seperti buah lontar, kelapa, nangka, sukun, labu botol, labu putih, melon, semangka dan gambas
(oyong, buahnya hijau sebesar mentimun, kulitnya bersegi-segi, dagingnya masih muda empuk berongga seperti kapas, biasa dibuat sayur).

Jus dari sayuran yang diperbolehkan termasuk semua jenis sayuran, kecuali mentimun. Dalam proses pembuatan jus sayuran tersebut tidak boleh dengan cara dimasak atau direbus, harus disaring sampai tidak ada ampasnya dan harus cair. Semua jus hanya dapat dihangatkan di bawah sinar matahari, jika diperlukan.

Ada empat kebutuhan utama dari seorang bhikkhu, serta ada kebutuhan lainnya seperti kebutuhan untuk kegiatan belajar dan mengajar Dhamma serta kebutuhan untuk transportasi. Kebutuhan-kebutuhan bhikkhu ini diberikan oleh umat yang berkeyakinan atau dayaka. 


Uang

Umat tidak boleh memberikan uang kepada seorang bhikkhu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bhikkhu tersebut. Uang dalam bentuk apapun, Cek, Giro, Buku Tabungan, Kartu ATM, Kartu Kredit atau amplop yang berisi uang dan alat tukar lainnya yang memiliki fungsi sama seperti uang DILARANG diberikan kepada seorang bhikkhu manapun, dengan cara apapun, dengan alasan apapun, kapanpun dan di manapun.

Sang Buddha telah menetapkan peraturan mengenai emas dan perak (uang) pada Nissaggiya-Pācittiya ke-18 dalam Pātimokkha Bhikkhu. Yaitu:

"Bhikkhu manapun yang menerima emas dan perak (uang) atau membuatnya diterima atau menyetujui ketika itu disimpan (di dekatnya), itu harus diserahkan dan diakui".


Alasan utama Sang Buddha melarang seorang bhikkhu untuk memiliki uang:

Sang Buddha berkata, “… kepada siapapun uang diperbolehkan, maka kepada dirinya juga lima jenis
kesenangan indra diperbolehkan; kepada siapapun lima jenis kesenangan indra diperbolehkan, maka kalian dapat memastikan, ia tidak memiliki sifat seperti seorang bhikkhu…”. (Maṇicūḷaka Sutta, Saṃyutta Nikāya)


Sang Buddha mengizinkan Meṇḍaka Sikkhāpada:

"Santi, bhikkhave, manussā saddhā pasannā, te kappiyakārakānaṃ hatthe hiraññaṃ upanikkhipanti – ‘iminā ayyassa yaṃ kappiyaṃ taṃ dethā’ti. Anujānāmi, bhikkhave, yaṃ tato kappiyaṃ taṃ sādituṃ; na tvevāhaṃ, bhikkhave, kenaci pariyāyena jātarūparajataṃ sāditabbaṃ pariyesitabbanti vadāmī’’ti.

"Terdapatlah, bhikkhu, umat yang berkeyakinan, dia mempercayakan emas ke tangan kappiya untuk disimpan. 'Ini untuk Yang Mulia, apapun yang diizinkan bagi mereka, anda berikan pada mereka.' 

Saya menyatakan, bhikkhu, apapun yang diizinkan kalian boleh terima; tetapi Saya tidak pernah menyatakan, bhikkhu, bahwa apapun bentuk emas dan perak boleh diterima dan dicari". (Mahāvagga Pāḷi, Vinaya; paragraf 342)


Kappiya
 
Kappiya adalah seorang umat yang dapat membantu, menyalurkan atau menjadi perantara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu yang berasal dari umat atau dayaka. Kappiya bisa ditunjuk oleh pendonor, bhikkhu dan kappiyanya sendiri yang menawarkan diri untuk jadi kappiya. Kappiya harus rajin, jujur serta memiliki pengetahuan Dhamma dan Vinaya, sehingga ia dapatmembantu bhikkhu sesuai dengan Dhamma dan Vinaya.

Jika umat yang berkeyakinan atau dayaka ingin mempercayakan uang ke tangan kappiya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu, terdapat tiga tahapan prosedur yaitu:

Prosedur I: Umat datang ke kappiya

Bila umat A belum tahu siapa kappiya Bhikkhu B. Maka umat A dapat tanya ke Bhante B. "Bhante, siapa kappiya Bhante?".

Jawab Bhikkhu B: "Bagus kappiya saya".

Kemudian umat A datang ke Bagus dan berkata:
"Saya mempercayakan uang kepada kamu untuk kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang
bhikkhu yang nilainya sama besar dengan Rp. .......... . Kebutuhan ini untuk Bhante B. Bila Bhante B butuh sesuatu, silahkan atur dengan kamu".


Prosedur II: Umat menginformasikan ke Bhikkhu B

"Bhante, saya memberikan kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu yang nilainya sama besar dengan Rp. .......... . Saya telah mempercayakan kepada Bagus. Bila Bhante butuh sesuatu, silahkan beritahu kepada Bagus.

 
Prosedur III: Kappiya lapor ke Bhikkhu B

"Bhante, umat A telah memberikan kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu yang nilainya sama besar dengan Rp. .......... kepada Bhante. Bila Bhante butuh sesuatu, silahkan beritahu saya, saya akan mengaturnya".


Penjelasan singkat dari prosedur di atas:

1. Setelah semua tahapan ini dijalankan, maka Bhikkhu B dapat meminta kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan kepada Bagus.
2. Umat A tidak memberikan uang kepada Bhikkhu B, tetapi Bhikkhu B hanya menerima kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan dan bukan uangnya. Uangnya tetap milik umat A. Uang tersebut bukan milik Bhikkhu B maupun Bagus.
3. Jika kappiya tidak melakukan tugasnya, Bhikkhu B harus lapor ke umat A tentang apa yang terjadi dan menyarankan agar mengambil kembali uangnya dari Bagus, sebelum uangnya hilang.



Undangan

Menurut peraturan Pācittiya ke-47, seorang bhikkhu hanya boleh meminta sesuatu dari seorang umat awam jika sedang sakit atau meminta dari sanak keluarganya atau ke umat awam yang telah memberikan pavāraṇā (undangan). Umat yang berkeyakinan atau dayaka boleh memberikan pavāraṇā kepada seorang bhikkhu. 

Bila umat atau dayaka sudah berpavāraṇā kepada Bhikkhu B, maka Bhikkhu B dapat meminta kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu sesuai dengan undangan tersebut.

Misalnya: 

"Bhante, saya ingin berpavāraṇa. Bila Bhante membutuhkan sesuatu, silahkan Bhante beritahu kepada saya." (Pavāraṇā tersebut hanya berlaku untuk jangka waktu 4 bulan, kecuali umat mengulang pavāraṇānya atau memberikan pavāraṇā untuk jangka panjang.)



Sekian informasinya.

Kamis, 18 Mei 2017

Argumen Bahwa Buddhis Bukan Penyembah Berhala

Pada posting sebelumnya saya menuliskan bahwa poster acara dari GBI Mawar Saron Jakarta menyebutkan penyembahan berhala dengan memasangkan sikap anjali pada posternya, yang seolah-olah bermaksudkan bahwa Buddhis adalah penyembah berhala.


Selain ini, akhir-akhir ini juga beredar sebuah video di medsos yang berisi kotbah dari Ustadz Felix Siauw, yang mengatakan bahwa Buddhis menyembah berhala dengan men-Tuhankan manusia dan membuat patung-patung serupa mereka. Saya akan membagikan link ke video tersebut, tapi siapkanlah kesabaran kalian untuk melihatnya. Semoga video ini tidak menjadi provokator:



Entah takdir atau kebetulan
 
Tidak lama kemudian, saya menemukan sebuah argumen yang menjelaskan bahwa Buddhis bukan penyembah berhala. Argumen tersebut bersifat tulisan yang saya dapatkan dari seorang teman di facebook. 

Terkadang saya mendengar percakapan dari pendeta agama non-Buddha menyatakan bahwa agama Buddha, Hindu dan Konghucu itu menyembah berhala. Kadang saya ingin menjelaskan arti sebenarnya kepada mereka, tetapi kata-kata saya terbelit-belit.

Jadi, saya ingin membagikan argumen tersebut di sini karena saya merasa sangat berguna bagi diri saya untuk menghadapi pertanyaan "berhala" di kemudian hari. Semoga argumen ini juga berguna bagi umat Hindu dan Konghucu juga.

Karena argumen ini sangat panjang, jadi mohon perkenankan saya untuk copy-paste saja ^.^


Penganut Buddhisme tidak menyembah berhala
oleh: Selamat Rodjali


Berikut ini argumen2 untuk menjelaskan bahwa Buddhist tidak menyembah patung batu dan kayu. 

Penyembah berhala, apakah tolak ukurnya?

Ketika saya bertemu dengan doktor pribadi saya, beliau bertanya tentang kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui merek religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan saya disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di surga abadi.

Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah benar saya menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya, saya menghormat dan memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik, keberhasilan dan sebagainya kepada patung yang terbuat dari batu dan tak ada bedanya dengan animisme, penyembah batu, religius berhala.

Kemudian saya berkata: "Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan bahwa perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran saya sendiri, darimanakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan memohon¬mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran saya, tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya."

Maka iapun menjawab bahwa kebanyakan, orang yang bertingkah laku di depan patung adalah demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan memohon kepada patung.

Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: "Ketika rakyat suatu negara mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada bendera itu?"

Dokter saya menjawab, bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan / kualitas jasa para pahlawan sehingga secara alamiah mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para pahlawannya."

Kemudian saya lanjutkan: "Mungkinkah penganut religius yang dokter sebut sebagai penyembah patung/berhala tadi, ketika berlutut di bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi, atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang sedang mengenang jasa para pahlawannya?"

Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali bertanya: "Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai penyembah patung/berhala, dan jika saya melakukan seperti itu, apakah tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah berhala?"

Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: "Mengapa tidak?" Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut.

Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada beliau: "Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara sangat terbuka, oleh karena itu ijinkanlah saya bertanya secara terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter dalam mempraktikkan kepercayaan religius yang dokter anut, acap kali meminta atau memohon sesuatu (keselamatan, rejeki dsb) kepada sesuatu yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?"

Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi: "Selama ini saya telah salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami, maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon sesuatu (rejeki, kesehatan, keselamatan dan sebagainya) kepada sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya, selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa syukur atas keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu lagi.

Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki ruang yang terdapat patung seorang guru besar yang bernama Gotama.

Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun, memang kebanyakan para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala.

Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu bagi para pemula (bagi yang telah pandai sama sekali tidak memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya seperti yang dimiliki oleh guru besar Gotama, yaitu:
1. Murah-hati (dermawan)
2. Bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak memakan atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan)
3. Tidak terikat/tidak melekat
4. Bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. Bersemangat
6. Sabar
7. Selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. Memiliki tekad yang kuat
9. Memiliki cinta kasih terhadap semua mahluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)
10. Sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)

Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak menjadi masalah. Guru besar kami sama sekali tidak mengajarkan pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati. 

Tindakan melalui pikiran, ucapan dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap mahluk mengharapkan kebahagiaan, namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, meminta-minta.
Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses sebab akibat ini akan berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka berproses secara alamiah. 

Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan saya secara sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga dan secara sukarela pula berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan ancaman neraka. 

Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan kesalahpahaman antar penganut religius.

Jumat, 12 Mei 2017

Sikap Anjali Pada Poster Acara Kristen


Serial Kotbah 7 berhala yang diadakan oleh Gereja Bethel Indonesia (GBI) Mawar Saron Jakarta pada bulan Agustus - September 2016 kemarin. Kebetulan saya menemukan poster ini di google. Saya langsung terkesan dengan desain judul acara pada poster itu.

Perhatikan huruf "L" pada kata berhala, telah digantikan dengan bentuk sikap anjali. Kenapa harus digantikan dengan sikap anjali?

Saya tidak tahu apa isi acara tersebut juga, karena saya bukan orang Jakarta. Jadi, saya tidak pasti apakah di dalam acara tersebut ada pelecehan terhadap agama Buddha.

Tetapi yang pasti di sini adalah pergantian sikap anjali pada huruf L di atas telah menyinggung ajaran Buddha.

Di dalam ajaran Kristen, berhala artinya patung atau lukisan Dewa, yang kemudian artinya meluas menjadi makhluk atau benda apa aja yang disembah di samping perintah Allah. Menurut Kristiani, menyembah berhala itu dosa.

Landasan hukum tersebut:

Markus 7:9, Yesus berkata pula kepada mereka, "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadatmu sendiri".

Keluaran 20:4, Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.

Oleh karena itu, Kristiani juga menganggap menyembah rupang Buddha juga merupakan menyembah berhala dan itulah suatu dosa dalam hukum Kristiani.


Agama Buddha = menyembah berhala ??

Sebenarnya, yang sering saya temukan di sini bahwa orang-orang yang menyebut umat Buddha itu menyembah berhala adalah orang-orang yang bukan lahir dari keluarga Buddha, dan juga mantan-mantan umat Buddha yang murtad ke agama lain.

Orang-orang yang bukan lahir dari keluarga Buddha ini otomatis hanya melihat acara penyembahan Buddha, tetapi sebenarnya mereka tidak mengerti tentang agama Buddha. Tetapi yang menyakitkan hati di sini adalah mantan umat Buddha tersebut juga menganggap demikian.

Seperti yang saya jelaskan di pendahuluan, banyak orang yang meninggalkan agama Buddha itu memberi kesaksian mereka tentang alasan kenapa mereka murtad sambil menjelekkan ajaran Buddha. Padahal dari kesaksian yang mereka sampaikan tersebut membuat saya tertawa.

Di antara mereka, ada yang meminta kepada Buddha agar angka yang mereka beli keluar, minta bisinisnya sukses padahal dirinya seorang penjudi, minta kesehatan padahal perokok dan pemabuk, dan lain-lain.

Jadi, apakah Buddha itu menyembah berhala?

Sebenarnya ajaran Buddha bukan sekedar menyembah Buddha, tetapi menyatakan perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, serta berperilaku sesuai Pancasila, yaitu hindari pembunuhan, pencurian, pencabulan, pembohongan, serta senantiasa bersadar.

Sedangkan sikap anjali adalah tanda tata krama dan rendah hati. Mengenai hal ini, sebenarnya dalam ajaran Kristen juga ada sikap bersujud, yang maknanya juga rendah hati. Jadi, seolah-olah poster itu juga menghina ajarannya sendiri.

Saya tidak tahu apakah desain poster itu sesuai pemikiran designer sendiri, atau memang diminta pihak gereja. Tapi perlu disampaikan di sini agar lebih memperhatikan ketika dalam pembuatan poster dan media lainnya.