Jumat, 04 November 2016

Praktek Buddhis Dalam Mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Negara Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi satu jua. Bhinneka artinya beraneka ragam, tunggal artinya satu dan ika artinya itu. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan negara dan bangsa Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam bahasa daerah, budaya, suku, ras, agama serta kepercayaan.



Kata Bhinneka Tunggal Ika dikutip dari kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit. Pada awalnya karangan tersebut digunakan untuk mengajarkan toleransi antara umat Buddha dan umat Hindu.

Topik saya hari ini adalah membicarakan praktek Buddhis dalam menciptakan persatuan dan kesatuan negara Indonesia menurut kesimpulan saya. Perlu diingat, alasannya bukan karena asal-usul semboyan tersebut, jadi semoga Buddhis yang telah membaca artikel saya ini tidak meninggikan dirinya sebagai warga negara Indonesia, atau kita akan binasa seperti ormas tertentu.


1. Praktek Ciri Khas Ajaran Buddha, "Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia".

Hal ini saya kutip dari pembicaraan seorang biksu ketika beliau menanggapi turunnya Patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Waktu itu beliau meyampaikan pikiran beliau yang bermaksud tidak ada ruginya Buddhis mengalah dalam hal ini. (klik ini) Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan beliau yang berbunyi:


*Bila turunnya Patung Buddha bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain, maka doa khas ajaran Buddha telah berwujud:

Maksudnya jika Buddhis menghabiskan waktu hanya untuk melindungi patung tersebut, kemudian berdebat, memancing emosi serta menyebabkan pemberontakan, ujung-ujungnya semua belah pihak akan mengalami kesengsaraan dan dendam yang tidak ketemu ujung pangkal, maka akhirnya akan menyebabkan perpecahan. Jika keadaan ini terjadi, bagaimana bisa mewujudkan "semua makhluk berbahagia"?


*Tidak apa-apa rupang Buddha turun, yang penting kasihmu terhadap semua makhluk hidup tidak ikut turun:

Maksudnya yang terpenting adalah cinta kasih tidak merosot. Patung Buddha bukan hanya arah pedoman waktu sembahyang, tetapi juga guru bagi Buddhis sebagai pedoman dalam melakukan tingkah laku.

Bicara yang nyata saja, walaupun Patung Buddha tersebut turun, masih ada banyak Patung Buddha dan Wihara di mana-mana, Buddhis tetap bisa melakukan ibadah ke seluruh tempat.

Hal ini sama juga dengan tanggapan Ajahn Brahm terhadap kerusuhan Tanjung Balai Juli,2016. Beliau juga menyatakan bahwa walaupun wihara hancur, kita masih bisa bangun lagi. Tetapi bila cinta kasih hancur, maka keseluruhan agama akan hancur. Jika kita berpikir terbalik, maka artinya sama juga dengan tidak ada gunanya kita membuat rupang Buddha dan Wihara yang besar dan mewah jika hati kita tidak ada cinta kasih.


Jadi, peranan di sini dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika adalah pedoman bagi Buddhis untuk mengutamakan cinta kasih terhadap semua orang. Jika kita menanamkan rasa marah ketika kita dihina, kemudian timbul pemberontakan dan perpecahan, maka itu justru merusak kesatuan negara, bahkan merusak ajaran Buddha. Namun itu bukan berarti Buddhis tidak membela agama ketika dihina, tetapi cara yang kita tempuh seharusnya meluruskan kebenaran dan ciri khas ajaran-Nya (klik ini).



2. Pengalaman Saya Sendiri Bahwa Ajaran Buddha Mengakui Sesama Manusia Walaupun Ada Perbedaan

Ini adalah pengalaman saya ketika saya ditolak oleh seorang biksu untuk di-visudhi-kan pada usia 1 tahun, ya ini dengarnya dari cerita orang tua saya.

Visudhi dalam agama Buddha adalah suatu proses untuk meresmikan seseorang sebagai umat-Nya yang sejati. Visudhi sama halnya dengan menerima Sakramen Baptis dalam ajaran Kristen dan pengucapan Syahadat dalam ajaran Islam, merupakan suatu janji yang kekal yang menyatakan dirinya sebagai umat agama.

Tetapi kenapa saya ditolak untuk melakukan visudhi? Menurut cerita orang tua saya, alasan biksu tersebut adalah karena saya belum tahu apa-apa, saya mempunyai hak untuk memilih kepercayaan di kemudian hari.


Hal ini menggambarkan sikap Buddhis, yaitu mengakui sesama perbedaan. Sejak masa awal pewartaan ajaran Buddha, Buddha Gautama tidak ingin ajaran-Nya dipromosikan, atau menjadi idola, tetapi beliau ingin manusia berbuat baik dan saling menyayangi antar sesama dan terhadap lingkungan.

Ciri khas tersebut bersatu arah dengan maksudnya Bhinneka Tunggal Ika, yaitu mengakui sesama manusia walaupun terdapat perbedaan.


Dari dua hal ini saja, dapat kita ambil kesimpulan bahwa praktek Buddhis dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika adalah karena agama Buddha mengakui perbedaan, sehingga agama Buddha ingin segala konflik diselesaikan secara damai dengan menempuh jalan cinta kasih, guna menjaga kesatuan manusia agar tetap utuh. Bila kesatuan sudah utuh, maka tidak ada lagi yang bisa menghancurkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.