Jumat, 28 Oktober 2016

Teladan Biksu Menanggapi Turunnya Patung Buddha Tanjung Balai

Patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna yang berlokasi di Jalan Asahan Tanjung Balai, Sumatera Utara, dipindahkan secara resmi pada bulan Oktober, 2016. Patung Buddha tersebut bertinggi 6 meter, diresmikan sejak tanggal 8 November 2009.

Pemindahan patung Buddha Amitabha tersebut dilakukan sesuai kesepakatan antara Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial SH MH bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Tanjung Balai, Ketua FKUB, Ketua MUI serta Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna pada tanggal 1 September 2016. 

Sesuai surat pernyataan yang dibuat Pek Tjhong Li alias Akun, selaku Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna Tanjung Balai mengatakan, demi terciptanya suasana kondusif dan hubungan harmonis di antara umat beragama di Kota Tanjung Balai:

"Karena itu, dengan ini kami (Yayasan Vihara Tri Ratna) menyatakan bersedia memindahkan posisi patung Buddha Amitabha ke tempat yang telah disepakati."

Mengenai hal itu, seorang biksu, Karma Zopa Gyatsho, mengungkapkan tanggapan beliau melalui facebook. Isinya ada di gambar berikut:


Inti pokoknya adalah tidak apa-apa walaupun Patung Buddha diturunkan, yang penting cinta kasih kepada makhluk hidup tidak diturunkan. Bila turunnya Patung Buddha bisa memberi kebahagiaan bagi orang lain, maka doa khas umat Buddha, "Semoga semua makhluk hidup berbahagia", berwujud menjadi kenyataan. (klik sini)

Tribunnews yang membawa berita tersebut memuji tanggapan beliau bikin adem dan jadi viral karena menyentuh hati banyak orang.


Menurut saya, tanggapan tersebut perlu kita jadikan sebagai teladan dalam hidup kita, karena:

"Pengorbanan atau persembahan apa pun yang dilakukan oleh seseorang selama seratus tahun, untuk memperoleh pahala dari perbuatannya, tidak berharga seperempat bagian pun, daripada penghormatan yang diberikan kepada orang yang hidupnya lurus",

"Biarpun banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai ajaran, maka orang lengah itu, sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain, Ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci".

Sabtu, 22 Oktober 2016

Tanami Kesadaran Saat Dihina

Ghiroh artinya rasa cemburu, dalam konteks beragama adalah konsekuensi dari agama itu sendiri. Orang yang beriman tentu akan tersinggung bila agamanya dihina. Menurut Buya Hamka, jika ghiroh tidak lagi dimiliki bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijajah oleh asing dari segala sisi. Tambahannya, jika ghiroh hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan, karena kehilangan ghiroh sama dengan mati.



Seperti yang tertera pada gambar di atas, contoh-contoh penghinaan terhadap umat Buddha di antara lain seperti membuat patung Buddha bermuka mantan presiden Gus Dur, menduduki dan bergaya tidak sopan terhadap kuburan, serta kerusuhan Tanjung Balai yang menyebabkan wihara dan kelenteng terbakar.

Ironisnya, selama terjadi peristiwa tersebut, Buddhis sepertinya tidak pernah melakukan aksi pembelaan berupa unjuk rasa atau pun meminta pejabat untuk bertanggung jawab, karena unjuk rasa adalah suatu cara menyampaikan kemarahan agar semua orang mengerti perasaan dan pola pikir kita, gunanya supaya pelecehan terhadap diri kita tidak akan terulang lagi.



Jadi, apakah itu artinya keimanan umat Buddha sangat lemah, sehingga tidak ada aksi apa pun yang menyatakan kemarahan Buddhis selama agamanya dilecehkan / dihina seperti itu?

Sebelum itu, kita perlu mengenali kutipan dari Dhammapada di bawah ini:

Kebencian tidak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir apabila dibalas dengan tidak membenci.

Artinya kebencian yang dibalas dengan kebencian akan mengundang kebencian yang baru lagi. Mari kita ambil contoh kerusuhan Tanjung Balai bulan Juli, 2016. Peristiwa tersebut terjadi karena keluhan seorang wanita terhadap pengeras suara di Mesjid, kemudian Muslim beraksi demi membela agamanya dengan melakukan kerusuhan tersebut. Tetapi apabila:

*Muslim membakar wihara untuk pertama kali, kemudian Buddhis membakar mesjid untuk pertama kali, maka:
*Muslim akan membakar wihara untuk kedua kali, kemudian Buddhis akan membakar lagi mesjid untuk kedua kali, kemudian:
*Muslim akan membakar lagi wihara untuk ketiga kali, kemudian Buddhis........ dan seterusnya.

Dengan kata lain, perasaan dendam itu tak terhingga.



Seharusnya kita tanamkan kesadaran diri

Sikap cemburu adalah suatu emosi yang merujuk pada hal-hal yang negatif, perasaan terancam, takut dan risau kehilangan sesuatu. Penyebab dari perasaan cemburu ini, menurut saya, adalah pikiran mau menang sendiri.

Dari segala sisi, sikap cemburu sebenarnya tidak membawa dampak yang baik. Sikap cemburu mungkin bisa dijadikan dorongan untuk maju, karena tidak mau dikalahkan, atau disebut pantang menyerah, itu adalah pikiran yang baik. Tetapi akibat dari sikap cemburu adalah hilang kesadaran diri. Cemburu beda dengan pantang menyerah. 

Dalam pikiran orang yang pantang menyerah, dia akan menghadapi segala tantangan dengan sabar, sehingga dia percayakan berkah akan datang suatu saat. Tetapi dalam pikiran orang yang cemburu hanya berisi kemenangan, entah dengan cara apa pun. Atau pun dia akan takut kehilangan sesuatu, sehingga dia juga melakukan apa pun untuk melindunginya.

Tindakan rela mati mempertahankan sesuatu itu penting, tetapi tidak boleh tanamkan sikap cemburu, karena itu menyebabkan Anda hilang kesadaran. Dalam ajaran Buddha, kesadaran adalah sesuatu yang sangat penting, karena kesadaran berperan dalam pengendalian pikiran sehingga niat-niat negatif tidak akan muncul.

Contohnya adalah kerusuhan Tanjung Balai seperti yang diceritakan tadi. Tujuan kerusuhan itu adalah untuk mempertahankan agama Islam, karena Muslim merasa dihina akibat pengeras suara mesjid dilecehkan. Tetapi kerusuhan tersebut belum tentu membela ajaran, tetapi yang pasti akibat kerusuhan tersebut membuat lingkungan masyarakat menjadi panik, bahkan non-Buddhis juga merasa panik. Selain itu juga melelahkan polri, pemadam kebakaran, tukang pembersih dan masyarakat umum. Hal itu terjadi karena kecemburuan dari pelaku dan menutup kesadaran pelaku kerusuhan.

Tetapi dengan menanamkan kesadaran, maka kita bisa menghindari pikiran dan emosi yang negatif. Dengan berkesadaran, kita bisa pahami bahwa pelaku kerusuhan itu hanya sekedar marah, mereka tentu tahu akibat dari kelakuan mereka, hanya saja kesadaran mereka waktu itu tertutup.

Tetapi bukan berarti Buddhis tidak membela agamanya saat kerusuhan itu terjadi. Contohnya, pesan dari Ajahn Brahm yang isi pokoknya menyatakan bahwa:

" Walaupun wihara terbakar, masih bisa dibangun lagi, tetapi jika ajaran tentang cinta kasih dan rasa hormat kepada sesama dan diri sendiri hancur, maka keseluruhan agama itu akan jatuh ke toilet."


Selain itu, penghinaan terhadap suatu agama bisa terjadi juga karena ketidakpahaman. Sebagai contoh, pembuatan patung Buddha bermuka Gus Dur. Niat awal designer tersebut, Cipto Purnomo, adalah karena beliau sangat kagum terhadap sosok Gus Dur dalam menghormati perbedaan-perbedaan rakyat, dan Buddha melambangkan kebaikan, sehingga niat Cipto adalah menyamakan Gus Dur dengan Buddha. Bahkan Cipto juga dengan terang menyatakan bahwa tidak ada niat minta maaf kepada Buddhis, karena menurut dia, niatnya memang bukan mau menyinggung Buddhis


Dilihat dari pakaian Cipto sudah pasti dia tidak kenal Sang Buddha. Dari peristiwa itu, jika kita tanamkan perasaan cemburu, maka kita akan hilang kesadaran, kemudian memberontak dan menghancurkan atau menghina Cipto, bahkan seluruh umat se-agama dengan dia, tapi mungkin dia belum tentu tahu apa kesalahannya dan dia akan memberontak kembali. Tetapi jika kita mempunyai kesadaran, kita patut memberi tahu kesalahannya di mana agar tidak terulang lagi. Buktinya, pameran patung tersebut segera tutup dalam 3 hari (9 Februari 2010 - 12 Februari 2010).


Apakah ada karma buruk?

Karma buruk tentu ada, mungkin kita bisa nampak, maupun yang tidak kita nampak. Tetapi jika kita harapkan karma buruknya adalah cacat atau langsung mati di tempat, maka hati kita sama busuk dengan orang yang menyakiti kita.

Seperti peristiwa kerusuhan Tanjung Balai tadi, mungkin karma buruk yang kita nampak kecil, tetapi sebenarnya karma tersebut akan berjalan terus. Dipenjarakan adalah karma buruk juga, tetapi setelah itu seluruh keluarganya, temannya hingga generasi berikutnya akan diejek oleh masyarakat, bahwa anaknya, saudaranya, temannya atau pun ayahnya adalah orang yang membahayakan.

Jika orang yang suka mengejek orang lain, mungkin kita belum tentu dapat menemukan karma buruknya, tetapi yang pasti sifat buruknya akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Akibatnya, anaknya yang tak tahu apa-apa, malah dikucilkan masyarakat, tidak dapat teman, melakukan kriminal, bahkan durhaka terhadap orang tuanya.

Selasa, 18 Oktober 2016

Hubungan Politik Dengan Agama Menurut Ajaran Buddha

Di Indonesia, ajaran agama sering diikutsertakan ke dalam politik, sehingga kita temukan sering ada unsur SARA dalam urusan politik. Contohnya adalah sebutan kafir bagi politisi non-Muslim dan segala imbauan untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim. Hal itu sebenarnya sudah merugikan hak berpolitik warga negara yang non-Muslim.

Kafir adalah sebuah istilah dalam ajaran agama Islam, yang artinya menyembunyikan kebenaran, yang diartikan sebagai orang yang mengingkari Allah sebagai sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Tetapi pemimpin kafir maksudnya adalah pemimpin yang memimpin di akhirat, bukan pemimpin di duniawi.

Para politisi Indonesia jelas telah salah gunakan ajaran agama untuk kepentingan berpolitik. Selain itu juga ada banyak rakyat yang menyamakan ajaran kitab suci dengan undang-undang negara, sehingga mereka pun bingung dalam memilih pemimpin negara / politisi lainnya.

Padahal, seperti yang kita ketahui, negara mencakup semua orang yang berbeda latar belakang. Setiap orang yang menjadi warga negara, seharusnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jika ajaran agama dilibatkan dalam urusan negara, hasilnya akan menguntungkan sekelompok orang saja.


Agar menguntungkan umat Buddha dan ajaran Sang Buddha, apakah kita juga masukkan saja Dhammapada ke dalam politik atau membentuk partai bhikkhu?

(Dikutip dari link ini)

Politik menurut ajaran Buddha adalah sebuah profesi, yang menyangkut aspek kehidupan dalam keduniawan. Politik digambarkan sebagai sebuah kekuatan, guna menjaga kesejahteraan masyarakat. Namun seberapa ideal suatu sistem politik tetap tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bila dikuasai oleh kebencian, keserakahan dan kebodohan. 

Sebaliknya, agama digambarkan sebagai moralitas, kemurnian dan keyakinan. Tujuan agama adalah menyebarkan kedamaian, menghentikan perang, penaklukan, pelecehan dan segala kejahatan lainnya seperti yang disebut di paragraf atas. Oleh karena itu, apabila agama dilibatkan dalam politik, maka agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral, dan derajatnya pun direndahkan untuk kebutuhan duniawi.

Walaupun demikian, bukan berarti ajaran Buddha tidak berperan dalam politik, tetapi kita patut pahami dulu apa yang menjadi hak dan kewajiban Buddhis dalam politik. 

Dalam tatanan umat Buddha, ada 2 kelompok masyarakat:
1. Umat Buddha yang telah meninggalkan keduniawian dan hidup dalam vihara sebagai seorang bhikkhu / kelompok biarawan.
2. Umat Buddha yang berumah tangga dan tinggal dalam masyarakat sebagai upasaka (Buddhis laki-laki) atau upasika (Buddhis perempuan).

Umat Buddha berumah tangga hidup di tengah-tengah masyarakat dan kerjanya menyangkut lembaga-lembaga kehidupan masyarakat. Artinya Buddhis berumah tangga ini kerjanya menyangkut keduniawian, berarti mereka tidak dibatasi ajaran agama, dan mereka berhak ikut serta dalam politik sesuai hak dan kewajiban kewarganegaraan.

Sedangkan umat Buddha kelompok biarawan / bhikkhu adalah Buddhis yang melepaskan secara total keduniawian dan bekerja full-time dalam peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma. Tujuan biarawan adalah pelepasan. 

Dengan kata lain, apabila Buddhis yang memilih untuk memasuki kelompok biarawan, berarti dia telah memilih pelepasan sejati, yaitu melepaskan segala hal yang menyangkut duniawi. Namun bila dia masih menginginkan kekuasaan dan memenangkan pemilu, berarti dia sedang melakukan 2 hal yang bertentangan.

Tujuan ajaran agama Buddha adalah mengajarkan tentang penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan. Inti ajaran-Nya adalah pencapaian kesucian, bukan membentuk ideologi politik apapun. 

Dhammapada ayat 75 menyebutkan, "Satu jalan menuju keuntungan duniawi, satu jalan yang lain menuju Nibanna - pembebasan sejati." 

Seperti yang dikatakan di atas, politisi adalah profesi yang menyangkut keduniawian, sedangkan biarawan adalah pekerja full-time dalam peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma, sehingga mereka tidak ada waktu untuk urusan-urusan duniawi. Oleh karena itu, Yang Mulia Sangarasita dengan tepat berkata, "Bagi biarawan yang hendak menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik, satu-satunya jalan yang terhormat bagi mereka adalah melepaskan jubah."

Tetapi masih tetap ada perdebatan karena sebenarnya tidak ada peraturan dalam Vinaya yang melarang biarawan untuk menjadi politisi, kenapa begitu? Karena peraturan atau Vinaya tersebut dibuat pada masa itu, ketika saat awal-awal Sang Buddha mewartakan ajaran-Nya. Saat itu tidak ada biarawan yang ingin menjadi raja, tentu saja tidak ada peraturan seperti itu.

Namun kenyataannya di zaman sekarang adalah kenapa ada biarawan yang ingin menjadi politisi? Menurut Ang Choo Hong, dalam tulisannya yang berjudul "Saat Para Biarawan Terjun Dalam Politik", dinyatakan ada 4 alasan kenapa biarawan zaman sekarang mau menjadi politisi:

1. sejarah politik sosial yang dilakukan para Dalai Lama di Tibet,

2. mereka dipilih oleh pihak berwenang untuk mengurus urusan politik,

3. mereka dengan tulus ingin mengabdikan kepentingan Buddhisme, tetapi mereka tidak ada pemahaman yang mendalam mengenai ajaran Sang Buddha dan pengertian politik,

4. sikap egoisme untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.



Jika biarawan tidak dibenarkan untuk menjadi politisi, apakah ajaran Buddha tidak ada perannya dalam politik?

Buddha Gautama adalah biarawan Buddhis yang pertama. Beliau adalah pewaris tahta Kerajaan Kapilavastu. Dengan kata lain, Beliau semestinya menjadi seorang politisi full-time. Tetapi guna mencari kebenaran dan kebebasan sejati, Beliau meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya guna menjalani hidup sebagai seorang pertapa.

Setelah mencapai kebuddhaan, Beliau menempuh perjalanan ke seluruh India untuk membabarkan Dhamma (ajaran). Namun dalam perjalanan tersebut, Beliau juga terlibat dalam berbagai hal-hal yang menyangkut politik. Namun Beliau tidak melibatkan diri dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan, tetapi Beliau hanya menyelesaikan perselisihan dan memberikan nilai-nilai spiritual kepada raja-raja dan menteri-menteri.

Misalnya, saat suku Koliya dan Sakya hendak berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk agar mereka tidak melakukannya. Saat Raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan dengan Anda di depan menteri Raja Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan, sehingga Sang Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan rencananya.

Beberapa orang berusaha menggambarkan Sang Buddha sebagai orang yang meninggalkan kerajaan untuk menjadi politisi demokratik massa. Namun hal seperti itu tidak ditemukan. Beliau mengajarkan tentang penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan, bukan untuk membentuk ideologi politik apa pun.

Beliau tidak menganggap diri-Nya sebagai raja atau pun seseorang yang hendak memperbaiki keadaan sosial. Beliau tidak pernah juga memaksakan kekuatan politik untuk memperkenalkan ajaran-Nya.

Dengan kata lain, peranan ajaran agama Buddha bukan membentuk politik, tetapi dapat mengambil peran sebagai penengah dalam penyelesaian perselisihan, melindungi hak-hak masyarakat, serta membentuk politisi yang bijaksana dan suci dalam pikiran, ucapan dan perbuatan.


Tambahan!

Mengenai hal itu, pernah ada perdebatan yang timbul gara-gara pernyataan bahwa "tidak ada kerugian bagi para biarawan untuk berpartisipasi dalam politik", kemudian disalahartikan menjadi biarawan diperbolehkan mengikuti pemilu atau membentuk partai-partai guna mencari kekuasaan. 

Maksud dari pernyataan tersebut sebenarnya adalah tidak ada kerugian jika ajaran Buddha diwartakan kepada politisi, guna mencapai tujuan membentuk politisi yang bijaksana seperti yang disebutkan di atas. Sedangkan keterlibatan biarawan maksudnya adalah karena biarawan telah berprofesi dalam mendalami ajaran Buddha, sehingga diharapkan agar biarawan dapat mewartakan ajaran Buddha dengan tepat.


Kesimpulannya

1. Tujuan biarawan adalah pelepasan sejati. Para biarawan tidak dibenarkan untuk terlibat sebagai pribadi dalam politik, artinya tidak boleh menjadi politisi atau mencari kekuasaan.

2. Tujuan ajaran Buddha adalah pencapaian kesucian. Tidak ada ruginya para biarawan berpartisipasi dalam politik, artinya para biarawan dapat mendidik para raja / menteri / politisi  dengan mengajarkan Dhamma / kebaikan kepada mereka, membentuk politisi yang suci dan bijaksana, menjadi penengah dalam perselisihan, serta melindungi hak-hak warga negara saat dibutuhkan.

3. Bagi kelompok Buddhis berumah tangga yang hidup di tengah masyarakat juga, hendaknya jangan menyalahgunakan atau memutarbalikkan ajaran Sang Buddha untuk tujuan memperoleh kekuasaan dalam politik, karena ajaran Buddha bukan untuk membentuk ideologi politik baru, sebaliknya melibatkan agama ke dalam politik justru merendahkan derajat agama.

Senin, 17 Oktober 2016

Idola Atau Tidak, Tergantung Pemahaman Anda

Baru beberapa minggu yang lalu, saya ketemu dengan seorang Pendeta dari agama lain. Beliau bermaksud mengajak saya untuk mengikuti agama yang beliau anut. Kemudian beliau menasehati saya bahwa patung Buddha yang saya sembahkan sekarang adalah seorang idola, saya akan merasa bodoh bila sudah mengenal Tuhan yang asli.

Saya tidak merasa marah kepada beliau, karena beliau memang tidak pernah memahami ajaran Buddha. Umpamanya kita tak mungkin memarahi bayi yang baru lahir, yang belum pandai bicara dan tidak tahu apa-apa.

Makna patung Buddha bagi Buddhis adalah sebagai simbol dalam pengungkapan spiritual. Patung Buddha bukan Sidharta sebagai manusia, tetapi sebagai Tathagata Sang Adi Buddha yang ada padanya. Jadi, patung Buddha dijadikan sebagai pedoman Buddhis untuk mengenang dan mengikuti ajaran Sang Buddha.

Sedangkan Sang Buddha sendiri juga tidak menginginkan diri-Nya dijadikan idola. Hal itu bisa terlihat dari sabda:

"Dalam dunia ini, pengorbanan dan persembahan apapun yang dilakukan oleh seseorang selama seratus tahun, untuk memperoleh pahala dari perbuatannya itu. semuanya tidak berharga seperempat bagian pun, daripada penghormatan yang diberikan kepada orang yang hidupnya lurus." 

Untuk lebih jelas, mari kita lihat ciri-ciri seorang idola:


Maaf ya, Andy Law, karena antara penyanyi yang saya tahu, Anda lebih terkenal di Indonesia, jadi saya ambilkan nama Anda sebagai contoh, semoga tidak menyinggung perasaan Anda. Yang dibicarakan di bawah ini bukan tentang Andy Law, tetapi foto beliau hanya sebagai contoh.

Sebagai seorang idola, beliau menginginkan orang lain sayang kepada dirinya, beliau menginginkan orang menyaksikan kehebatannya, beliau ingin orang lain mengakui dirinya adalah yang paling hebat, beliau ingin orang yang sudah menerima dia mau mengundang semakin banyak orang untuk menyukainya. Jika bisa, beliau ingin konsernya dipenuhi banyak orang dengan jumlah yang melimpah.

Tetapi jika dirinya sebagai Buddha, Andy Law tidak akan pikir berapa peminatnya, tetapi beliau akan mengajak semua orang untuk belajar nyanyi. Tetapi bagaimana jika Anda tidak ada hobi dalam menyanyi? Tidak apa-apa, beliau tidak akan memaksakan Anda. Dan beliau juga ingin Anda belajar nyanyi karena benar-benar dari ketulusan hati Anda berupa minat terhadap musik, dan bukan karena perasaan kagum terhadap kehebatan beliau, atau tergiur dengan penampilan beliau dalam konser, kemudian mau belajar menyanyi, karena itu bukan berasal dari hati Anda, Anda tidak bakal pandai menyanyi walaupun Anda latihan 7x24 jam bila Anda benar-benar tidak ada minat.

Sedangkan orang yang meminati seorang idola disebut fans. Ciri-ciri dari seorang fans adalah tidak sadar diri atau sesat. Anda tidak akan dapat melihat timbul tenggelamnya segala kondisi lagi, karena yang ada dalam pikiran Anda hanyalah idola Anda. Anda tega menghina idola lainnya serta fans yang meminati idola lain, tetapi Anda tidak akan tega jika idola sendiri dihina. Jika idola sendiri dihina, Anda akan marah besar dan melakukan pemberontakan. Kesimpulannya, Anda tidak menyadari bahwa Anda sudah melakukan dosa, tetapi Anda akan sesat dalam dosa.

Bedanya jika kita jadikan Andy Law sebagai pedoman, maka kita tidak akan perhitungkan penampilan beliau, kehebatan beliau, atau pun kemewahan beliau, tetapi kita harus renungkan usaha kerja keras beliau demi prestasi tersebut. Demi konsernya lancar, Andy Law telah berlatih nyanyi dan menari 1 hari 8 jam selama beberapa bulan sebelum tanggal diadakan konser. Demi meluncurkan lagu baru dalam CD, beliau tidak hanya 1x atau 2x merekam suara, tetapi beberapa kali hingga pengarang lagu dan gurunya puas dengan hasilnya. Kita juga harus tahu bahwa masa kecil Andy Law adalah seorang fakir miskin, tetapi dengan kerja keras beliau, beliau bisa menjadi bintang terkenal di mana-mana.

Jadi, jika kita jadikan Andy Law sebagai idola, maka kita hanya akan tergiur dengan penampilannya dan kehebatannya, kita cenderung lupa diri dan sesat dalam dosa. Tetapi jika kita jadikan Andy Law sebagai pedoman, maka kita harus menjadikan usaha keras beliau sebagai teladan, agar kita bisa melewati segala tantangan hidup.

Sama halnya dengan ajaran Buddha, bagi Buddhis yang benar dalam menjalankan ajaran-Nya, mereka akan merenungkan dengan benar ajaran-Nya dan praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita nyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, kita akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan, bukan berarti kita menyembah dengan sarana yang mewah. Persembahan dilakukan maksudnya bagaikan tanda hormat, kita tak perlu hamburkan banyak uang untuk membeli barang-barang yang tidak ada maknanya hanya untuk persembahan.

Kamis, 13 Oktober 2016

Mengenal Diri Untuk Menghindari Pelecehan



Dari cerita di atas, seorang gadis yang miskin meminta petinggi Biksu untuk mendoakan agar ibunya sembuh dari sakit. Walaupun dia tidak ada uang untuk disembahkan, petinggi Biksu tersebut tetap mengabulkan permintaannya.

20 tahun kemudian, gadis tersebut menjadi kaya raya. Dia datang kembali meminta petinggi Biksu untuk mendoakan bagi ibunya sambil membawa emas. Tetapi permintaannya malah ditolak, dan Biksu tersebut minta muridnya saja untuk melakukannya.

Apa arti cerita tersebut? Pada gambar no.1 dan 2 nampak gadis tersebut benar-benar meminta Biksu dengan hati yang tulus pemberkatan agar ibunya sembuh dari sakit. Tetapi pada gambar no.3 dan 4, gadis tersebut malah menggantikan pemberkatan dengan hartanya. Gadis tersebut tidak lagi tulus, yang dia bandingkan hanyalah persembahan.

Jadi, persembahan dituntut dengan ketulusan hati. Buddhis juga dituntut untuk menguasai diri, melatih kesabaran dalam menghadapi tantangan serta melakukan kebaikan secara ikhlas, bukan hanya memperhitungkan berkah yang akan didapatkan dari persembahan. Berkah akan melimpah jika kita sudah menguasai diri dan melakukan kebaikan.

Mengenai topik saya hari ini, kenapa ada orang-orang yang suka melakukan pelecehan terhadap agama lain, termasuk Buddhis juga diejek dan mengejek? Kenapa sesama manusia saling mengejek satu sama lain hanya karena perbedaan kepercayaan? Kenapa ada pernyataan bahwa memilih pemimpin negara yang berbeda agama itu memalukan?

Karena dalam pandangan orang-orang tersebut hanyalah Kebesaran Tuhan. Orang tersebut diajak dan mengajak orang lain untuk menjadi saksi akan kebesaran Tuhan, kemudian menyampaikan kepada lebih banyak orang agar percaya dengan Kebesaran Tuhan. Kemudian pada akhirnya, orang tersebut juga diajak agar mau membentuk Kebesaran Tuhan di tengah manusia. Tapi kenyataannya, ajaran agama di muka bumi bukan hanya 1. Masing-masing agama mempercayakan Tuhan yang berbeda-beda.

Walaupun begitu, sebenarnya tujuan dari setiap agama adalah membimbing kebaikan dan kedamaian antar manusia dengan lingkungan. Membentuk kebesaran Tuhan di tengah manusia artinya juga agar manusia saling menyayangi dan menyayangi lingkungan sekitar. Tetapi banyak orang yang hanya tahu menyatakan lindung kepada Tuhan, tetapi malas melakukan kebaikan, karena kebaikan itu susah dilakukan, dituntut kesabaran dalam menghadapi tantangan dan kesabaran dalam menunggu berkah.

Ada pun Buddhis yang juga salah gunakan ajaran Buddha. Mereka percaya bahwa kekuatan ajaib Sang Buddha bisa menghapus segala kemalangan, akhirnya mereka malas melakukan perbaikan dan pelatihan diri juga, sehingga setiap saat menghadapi kesusahan, Buddhis tersebut hanya tahu menyembah Sang Buddha, menghamburkan uang demi membeli hiasan mahal yang tak bermakna bagi pemujaan. Ciri-ciri orang seperti itu nampak jelas, dari ucapan mereka sering muncul kata-kata imbauan untuk berbuat baik, padahal mereka melakukan sebaliknya.

Contoh orang di atas adalah orang yang tidak sabar menghadapi tantangan, dan memohon kekuatan ajaib untuk memperbaikinya. Akhirnya, mereka suka membandingkan kekuatan Tuhan dan merendahkan Tuhan yang dianut agama lain, namun mereka tidak terima kalau Tuhan yang mereka percayakan diejek umat agama lain. Akhirnya kegelisahan pun terjadi, dan timbullah pemberontakan.

Kenapa saya ambil contoh cerita seperti gambar di atas? karena dari cerita itu dapat dikutip bahwa sebenarnya dengan menjadi Buddhis, kita harus renungkan dulu ajaran Sang Buddha, yaitu pencapaian kesucian dalam pikiran, ucapan dan perbuatan, bukan persembahan atau pun pemujaan.

Persembahan Buddhis mengandung arti bahwa menyatakan tekad kita sebagai Buddhis, sehingga kita mau berbuat baik, bukan sistem untuk permohonan atau pun curhat. Dengan kata lain, jika kita hanya fokus dalam persembahan, kita akan sesat dalam perasaan kagum terhadap kekuatan Sang Buddha, dan kita hidup hanya untuk memuji dan menyembah Sang Buddha, akhirnya kita pun akan memandang rendah orang lain yang berbeda pikiran dengan kita.

Sama halnya juga dengan bentuk pelecehan terhadap agama Buddha yang dilakukan umat agama lain, tetapi rata-rata alasan mereka adalah karena mereka membandingkan kebesaran Sang Buddha dengan Tuhan. Dari jenis-jenis pelecehan yang saya temukan, tidak ada pelecehan secara langsung yang dituju ke ajaran Sang Buddha, walaupun ada, pasti berakhiran dengan status ketuhanan Sang Buddha.

Begitu juga dengan agama lain. Bentuk pelecehan yang dilakukan pasti menuju ke Tuhan atau pun sarana ibadah yang digunakan. Tetapi selama ini belum saya temukan ada yang melecehkan ajaran kasih dari setiap agama.

Oleh karena itu, kita yang lahir sebagai manusia seharusnya kita mengenal diri-sendiri. Dengan mengenal diri-sendiri, maka kita bisa mengenal apa kelebihan kita dan apa kekurangan kita, sehingga baru bisa tanamkan sikap rendah hati. Dengan sikap rendah hati, kita yakin kerohanian kita akan kuat, dan tidak akan diganggu gugat.

Jika kerohanian kita sudah kuat, maka:

1. kita bisa menghargai perbedaan, kita tidak akan memandang rendah kepemilikan orang lain termasuk harta dia, ilmu dia serta jasmani dia, karena hanya orang yang bertinggi hati merasa kepemilikan sendiri adalah yang paling kuat.

2. kita tidak akan merasa panik, karena kita telah menerima perbedaan, kita tidak takut lagi jika orang yang berbeda dengan kita dapat mengganggu keberadaan kita,

3. kita tidak perlu memaksakan kehendak kita kepada orang lain karena kita tidak panik lagi bahwa keberadaan kita akan terganggu bila ada orang yang berbeda ide,

4. dan akhirnya kita akan percaya kita pasti akan mendapat berkah.

Selasa, 11 Oktober 2016

Kata Pengantar



Pendahuluan ini penting dibaca sebelum Anda melanjutkan ke posting-posting yang ada di blog ini guna menghindari kesalahpahaman.

Ketika kita berbuat jahat terhadap orang lain, apakah kita pernah berpikir bagaimana perasaan kita kalau orang lain berbuat jahat kepada kita? Ketika kita berbuat jahat terhadap orang lain, tentunya suatu saat kita akan menerima balasan juga. Hubungan timbal balik seperti inilah yang disebut dengan karma.

Dilihat dari nama blog ini, bisa diketahui alasan saya membuat blog ini adalah karena banyak orang yang melecehkan ajaran Buddha, padahal mereka belum memahami ajaran Buddha. Tetapi bukan berarti blog ini membela segala hal yang dilakukan Buddhis, karena banyak juga Buddhis yang tidak memahami ajaran agama lain, tetapi juga melakukan pelecehan terhadap ajaran agama lain.

Jadi tujuan saya membuat blog ini adalah memberi saran dan penjelasan terhadap segala hal dengan pengetahuan saya mengenai ajaran Buddha. Saya bukan biksu, saya hanya umat biasa. Saya bukan sumber pengetahuan, karena saya masih berusaha memperdalam pengetahuan saya mengenai ajaran Buddha.

Judul dari blog ini saya buat demikian, "Front Pembela Buddhis". Buddhis artinya umat agama Buddha. Saya sengaja menggunakan Buddhis, bukan Buddha, karena blog ini dibuat oleh manusia, yaitu saya. Selain itu, Buddha tidak perlu pembelaan, tetapi Buddha ingin manusia mengikuti ajaran-Nya.

Dan yang penting harus diketahui, blog ini tidak bertujuan membandingkan agama Buddha dengan agama lain, tetapi hanya melakukan koreksi.



Latar belakang saya menulis blog ini karena saya sering menemukan umat agama lain, ataupun umat Buddha yang murtad ke agama lain, yang melecehkan ajaran Buddha ketika mereka bermisi mewartakan ajaran agamanya sendiri atau agama yang baru dianutnya.

Jika orang tersebut memang lahir bukan dari keluarga Buddha, ya sebenarnya mereka tidak berkualifikasi membicarakan ajaran Buddha dalam langka mewartakan ajaran agamanya sendiri. 

Tetapi hal yang paling membuat sakit hati di sini adalah mantan umat Buddha (orang-orang yang murtad ke agama lain) banyak juga yang bersaksi tentang jeleknya agama Buddha. Padahal ketika saya mendengar kesaksian mereka, saya merasa sangat lucu. Sebenarnya banyak di antara mantan umat Buddha tersebut hanya seolah-olah telah mendalami ajaran Buddha. Ketika saya mendengar perbincangan mereka mengenai masa lalunya menganut Buddha, saya merasa jenaka sekali, dan saya tidak bisa menerima alasan mereka murtad.

Contohnya, menganggap hukum karma sebagai kutukan setan, menganggap penyembahan Buddha adalah menyembah berhala, menganggap Buddha sebagai koruptor sehingga membuat peraturan menyumbang atau memberi persembahan lainnya.

Segala pelecehan dan kesalahpahaman itu akan saya bahas satu-persatu di sini. Jadi, blog ini bertujuan melindungi Buddhis dari pelecehan dan kesalahpahaman. Tetapi kenapa dikatakan tidak membela Buddhis secara penuh? Karena Buddhis kadang juga melakukan dosa. Pembelaan penuh bukan membela dosa yang dilakukannya, karena itu hanya memanjakan mereka, dan akhirnya mereka yang berdosa akan semakin sesat. Pembelaan sepenuhnya hanya bisa dilakukan bila kita sudah mengenal diri sendiri, kelebihan diri kita serta kekurangan diri kita, bukan melakukan perbuatan dosa seperti pemberontakan, protes terhadap orang lain, atau pun demonstrasi.