Selasa, 18 Oktober 2016

Hubungan Politik Dengan Agama Menurut Ajaran Buddha

Di Indonesia, ajaran agama sering diikutsertakan ke dalam politik, sehingga kita temukan sering ada unsur SARA dalam urusan politik. Contohnya adalah sebutan kafir bagi politisi non-Muslim dan segala imbauan untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim. Hal itu sebenarnya sudah merugikan hak berpolitik warga negara yang non-Muslim.

Kafir adalah sebuah istilah dalam ajaran agama Islam, yang artinya menyembunyikan kebenaran, yang diartikan sebagai orang yang mengingkari Allah sebagai sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Tetapi pemimpin kafir maksudnya adalah pemimpin yang memimpin di akhirat, bukan pemimpin di duniawi.

Para politisi Indonesia jelas telah salah gunakan ajaran agama untuk kepentingan berpolitik. Selain itu juga ada banyak rakyat yang menyamakan ajaran kitab suci dengan undang-undang negara, sehingga mereka pun bingung dalam memilih pemimpin negara / politisi lainnya.

Padahal, seperti yang kita ketahui, negara mencakup semua orang yang berbeda latar belakang. Setiap orang yang menjadi warga negara, seharusnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jika ajaran agama dilibatkan dalam urusan negara, hasilnya akan menguntungkan sekelompok orang saja.


Agar menguntungkan umat Buddha dan ajaran Sang Buddha, apakah kita juga masukkan saja Dhammapada ke dalam politik atau membentuk partai bhikkhu?

(Dikutip dari link ini)

Politik menurut ajaran Buddha adalah sebuah profesi, yang menyangkut aspek kehidupan dalam keduniawan. Politik digambarkan sebagai sebuah kekuatan, guna menjaga kesejahteraan masyarakat. Namun seberapa ideal suatu sistem politik tetap tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bila dikuasai oleh kebencian, keserakahan dan kebodohan. 

Sebaliknya, agama digambarkan sebagai moralitas, kemurnian dan keyakinan. Tujuan agama adalah menyebarkan kedamaian, menghentikan perang, penaklukan, pelecehan dan segala kejahatan lainnya seperti yang disebut di paragraf atas. Oleh karena itu, apabila agama dilibatkan dalam politik, maka agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral, dan derajatnya pun direndahkan untuk kebutuhan duniawi.

Walaupun demikian, bukan berarti ajaran Buddha tidak berperan dalam politik, tetapi kita patut pahami dulu apa yang menjadi hak dan kewajiban Buddhis dalam politik. 

Dalam tatanan umat Buddha, ada 2 kelompok masyarakat:
1. Umat Buddha yang telah meninggalkan keduniawian dan hidup dalam vihara sebagai seorang bhikkhu / kelompok biarawan.
2. Umat Buddha yang berumah tangga dan tinggal dalam masyarakat sebagai upasaka (Buddhis laki-laki) atau upasika (Buddhis perempuan).

Umat Buddha berumah tangga hidup di tengah-tengah masyarakat dan kerjanya menyangkut lembaga-lembaga kehidupan masyarakat. Artinya Buddhis berumah tangga ini kerjanya menyangkut keduniawian, berarti mereka tidak dibatasi ajaran agama, dan mereka berhak ikut serta dalam politik sesuai hak dan kewajiban kewarganegaraan.

Sedangkan umat Buddha kelompok biarawan / bhikkhu adalah Buddhis yang melepaskan secara total keduniawian dan bekerja full-time dalam peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma. Tujuan biarawan adalah pelepasan. 

Dengan kata lain, apabila Buddhis yang memilih untuk memasuki kelompok biarawan, berarti dia telah memilih pelepasan sejati, yaitu melepaskan segala hal yang menyangkut duniawi. Namun bila dia masih menginginkan kekuasaan dan memenangkan pemilu, berarti dia sedang melakukan 2 hal yang bertentangan.

Tujuan ajaran agama Buddha adalah mengajarkan tentang penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan. Inti ajaran-Nya adalah pencapaian kesucian, bukan membentuk ideologi politik apapun. 

Dhammapada ayat 75 menyebutkan, "Satu jalan menuju keuntungan duniawi, satu jalan yang lain menuju Nibanna - pembebasan sejati." 

Seperti yang dikatakan di atas, politisi adalah profesi yang menyangkut keduniawian, sedangkan biarawan adalah pekerja full-time dalam peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma, sehingga mereka tidak ada waktu untuk urusan-urusan duniawi. Oleh karena itu, Yang Mulia Sangarasita dengan tepat berkata, "Bagi biarawan yang hendak menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik, satu-satunya jalan yang terhormat bagi mereka adalah melepaskan jubah."

Tetapi masih tetap ada perdebatan karena sebenarnya tidak ada peraturan dalam Vinaya yang melarang biarawan untuk menjadi politisi, kenapa begitu? Karena peraturan atau Vinaya tersebut dibuat pada masa itu, ketika saat awal-awal Sang Buddha mewartakan ajaran-Nya. Saat itu tidak ada biarawan yang ingin menjadi raja, tentu saja tidak ada peraturan seperti itu.

Namun kenyataannya di zaman sekarang adalah kenapa ada biarawan yang ingin menjadi politisi? Menurut Ang Choo Hong, dalam tulisannya yang berjudul "Saat Para Biarawan Terjun Dalam Politik", dinyatakan ada 4 alasan kenapa biarawan zaman sekarang mau menjadi politisi:

1. sejarah politik sosial yang dilakukan para Dalai Lama di Tibet,

2. mereka dipilih oleh pihak berwenang untuk mengurus urusan politik,

3. mereka dengan tulus ingin mengabdikan kepentingan Buddhisme, tetapi mereka tidak ada pemahaman yang mendalam mengenai ajaran Sang Buddha dan pengertian politik,

4. sikap egoisme untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.



Jika biarawan tidak dibenarkan untuk menjadi politisi, apakah ajaran Buddha tidak ada perannya dalam politik?

Buddha Gautama adalah biarawan Buddhis yang pertama. Beliau adalah pewaris tahta Kerajaan Kapilavastu. Dengan kata lain, Beliau semestinya menjadi seorang politisi full-time. Tetapi guna mencari kebenaran dan kebebasan sejati, Beliau meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya guna menjalani hidup sebagai seorang pertapa.

Setelah mencapai kebuddhaan, Beliau menempuh perjalanan ke seluruh India untuk membabarkan Dhamma (ajaran). Namun dalam perjalanan tersebut, Beliau juga terlibat dalam berbagai hal-hal yang menyangkut politik. Namun Beliau tidak melibatkan diri dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan, tetapi Beliau hanya menyelesaikan perselisihan dan memberikan nilai-nilai spiritual kepada raja-raja dan menteri-menteri.

Misalnya, saat suku Koliya dan Sakya hendak berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk agar mereka tidak melakukannya. Saat Raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan dengan Anda di depan menteri Raja Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan, sehingga Sang Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan rencananya.

Beberapa orang berusaha menggambarkan Sang Buddha sebagai orang yang meninggalkan kerajaan untuk menjadi politisi demokratik massa. Namun hal seperti itu tidak ditemukan. Beliau mengajarkan tentang penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan, bukan untuk membentuk ideologi politik apa pun.

Beliau tidak menganggap diri-Nya sebagai raja atau pun seseorang yang hendak memperbaiki keadaan sosial. Beliau tidak pernah juga memaksakan kekuatan politik untuk memperkenalkan ajaran-Nya.

Dengan kata lain, peranan ajaran agama Buddha bukan membentuk politik, tetapi dapat mengambil peran sebagai penengah dalam penyelesaian perselisihan, melindungi hak-hak masyarakat, serta membentuk politisi yang bijaksana dan suci dalam pikiran, ucapan dan perbuatan.


Tambahan!

Mengenai hal itu, pernah ada perdebatan yang timbul gara-gara pernyataan bahwa "tidak ada kerugian bagi para biarawan untuk berpartisipasi dalam politik", kemudian disalahartikan menjadi biarawan diperbolehkan mengikuti pemilu atau membentuk partai-partai guna mencari kekuasaan. 

Maksud dari pernyataan tersebut sebenarnya adalah tidak ada kerugian jika ajaran Buddha diwartakan kepada politisi, guna mencapai tujuan membentuk politisi yang bijaksana seperti yang disebutkan di atas. Sedangkan keterlibatan biarawan maksudnya adalah karena biarawan telah berprofesi dalam mendalami ajaran Buddha, sehingga diharapkan agar biarawan dapat mewartakan ajaran Buddha dengan tepat.


Kesimpulannya

1. Tujuan biarawan adalah pelepasan sejati. Para biarawan tidak dibenarkan untuk terlibat sebagai pribadi dalam politik, artinya tidak boleh menjadi politisi atau mencari kekuasaan.

2. Tujuan ajaran Buddha adalah pencapaian kesucian. Tidak ada ruginya para biarawan berpartisipasi dalam politik, artinya para biarawan dapat mendidik para raja / menteri / politisi  dengan mengajarkan Dhamma / kebaikan kepada mereka, membentuk politisi yang suci dan bijaksana, menjadi penengah dalam perselisihan, serta melindungi hak-hak warga negara saat dibutuhkan.

3. Bagi kelompok Buddhis berumah tangga yang hidup di tengah masyarakat juga, hendaknya jangan menyalahgunakan atau memutarbalikkan ajaran Sang Buddha untuk tujuan memperoleh kekuasaan dalam politik, karena ajaran Buddha bukan untuk membentuk ideologi politik baru, sebaliknya melibatkan agama ke dalam politik justru merendahkan derajat agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.