Rabu, 09 November 2016

Emosi Yang Mengunci Kesadaran

Hari ini saya akan tetap membahas kasus penistaan agama yang melibatkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kemarin saya sudah membahas kesadaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi penghinaan terhadap agama Buddha. Ketika kita sadar, kita akan bertindak bijak dalam meluruskan dan mewartakan kebenaran ajaran Buddha. (klik sini) dan (klik sini)

Mungkin Anda bertanya, hal itu tidak ada hubungannya dengan Buddhis, lagipula membahas hal ini bertentangan dengan jalannya ajaran Buddha, kenapa saya tetap ambil contoh peristiwa ini? 

Karena hal itu sedang panas terjadi dan bukan lagi menyangkut kepentingan sepihak lagi. Tetapi bersamaan dengan demo yang dilakukan pada tanggal 4 November kemarin, terlihat efek yang terahasia, bukan hanya mengusir Tionghoa, tetapi juga kudeta untuk membentuk negara Islam.


Demo dan segala keluhan yang dilakukan Muslim selama dua bulan ini sudah semakin sesat tujuannya. Saya tidak ngerti lagi apa orientasi perjuangan mereka, bukan lagi semangat pembelaan yang saya nampak, tetapi emosi orang dungu yang berkobar-kobar.

Kenapa saya bilang begitu?

1. Tujuan perjuangan yang semakin tidak jelas

Permulaan dari perjuangan ini adalah membela ajaran Islam karena disangka telah dinista. Tetapi kenapa justru ada umat Muslim yang mau menyangkal petinggi agamanya sendiri yang berbeda pendapat?

Syafi'i Ma'arif (Buya Syafi'i), guru besar dan ketua umum PP Muhammadiyah (1999-2005) menanggapi peristiwa tersebut dengan memihak kepada Ahok. Alasannya karena menurut penelitian beliau, pembicaraan Ahok yang disangka menista agama itu sama sekali tidak ada unsur penistaan terhadap Al-Quran, tetapi tujuannya adalah orang-orang yang memperalat Al-Quran untuk kepentingan politik. Namun konsekuensi dari tanggapan beliau adalah mendapat ejekan dari umatnya yang se-agama (klik sini).



Selain itu, juga terdapat seseorang yang memberikan pencerahan melalui facebook seperti gambar di bawah ini:

Konsekuensinya, seperti yang Anda nampak di atas, komentar seseorang yang menyebutnya sebagai Ahoker.

Bila seorang anak sayang kepada orang tuanya, maka ia akan patuh kepada perintah orang tuanya. Tetapi kadang emosional akan mengontrol pikiran dirinya, menyebabkan kesadarannya hilang dan membuat dia bertindak iseng.

Jadi, tindakan Muslim yang menyangkal petingginya adalah sebuah tindakan yang sewenang-wenang. Batin mereka sudah gelap. Pandangan mereka sudah buta. Pikiran mereka telah dikontrol oleh emosional. Mereka sudah tidak bisa berpikir lagi. Mereka hanya mau mendengar pembicaraan yang sejalan dengan pikiran mereka, yang seolah-olah memuji pikiran mereka itu benar. Hal itu tidak mengingatkan saya pada pahlawan siapa pun, tetapi lebih mirip dengan balita-balita di taman kanak-kanak.




2. Tidak mengetahui sebab akibat

Peristiwa tersebut menjadi terbakar gara-gara video yang diunggah oleh Buni Yani. Buni Yani pun sudah minta maaf kepada publik dan mengakui kesalahannya bahwa dia telah melakukan salah transkrip. Setelah itu pun muncul petisi agar menjalankan hukum terhadap Buni Yani karena telah menjadi provokator. Anehnya di sini, ada juga petisi yang menyatakan "save Buni Yani" karena alasan kalangan Muslim bahwa mereka berjuang menghukum penista agama, bukan transkripsi video.

Menurut mereka, transkripsi video tersebut tidak ada hubungannya dengan penistaan agama. Tetapi menurut saya, tanggapan tersebut adalah tanggapan orang dungu. Kenapa? Karena mereka tidak menyadari penyebabnya. Kenapa mereka merasa marah terhadap pembicaraan Ahok yang tersangka menista agama? Penyebabnya bukan karena mereka mendengar sendiri pembicaraan Ahok tersebut, tetapi mereka mengetahuinya melalui video yang diunggah Buni Yani tersebut. 

Oleh karena itu, kebenaran video tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan. Jika Buni Yani merasa salah transkripsi, kenapa dia masih sengaja mengunggah video tersebut? Tujuannya apa?


Jadi, ini adalah sebuah pembelajaran bagi kita, yaitu agar kita bisa mengendalikan diri kita menjauhi emosi dan kebencian, agar kita tetap sadar dan bisa mewujudkan kebijaksanaan.

"Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya."

"Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya. Selama seseorang masih menyimpan pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan pernah berakhir."

"Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa dalam pertengkaran mereka akan binasa, tetapi mereka yang dapat menyadari kebenaran ini akan segera mengakhiri semua pertengkaran."

"Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu, orang bijaksana mengendalikan dirinya."

Selasa, 08 November 2016

Orang yang Bijak

Jakarta, 4 November 2016, terjadi aksi demo yang menuduh Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bahwa beliau telah melakukan penistaan agama dalam pembicaraannya di Pulau Seribu. Demo tersebut dipimpin oleh Front Pembela Islam (FPI) beserta puluh ribuan Muslim dari berbagai daerah Indonesia.

Pada tanggal itu juga, saya membahas hal itu melalui medsos bersama seorang teman saya yang Muslim. Komentar kita di medsos dimulai dengan candaan, tetapi ujung-ujungnya menimbulkan keraguan saya. Saya menanyakan kepada dirinya, apakah dia juga mengikuti demo tersebut? Dirinya jawab tidak ada ongkos pesawat terbang. Kemudian saya tanyakan lagi, kenapa tidak lakukan saja aksi damai berupa meluruskan ajaran saja, atau laporkan Ahok ke polisi saja, seperti contoh ketika Agama Buddha dihina? (klik sini) Kemudian dia menjelaskan, "Karena ajaran kita beda. Dalam agama kita (Islam), kita harus bergerak membela agama kita ketika dihina."



Artikel ini tidak akan membahas perbedaan antara 2 agama ini, tetapi saya mau membahas apakah FPI yang memimpin demo tersebut telah melakukan sesuatu yang bijak menurut Dhammapada?


"Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, tidak dapat dikatakan sebagai orang adil. Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang bensar dan mana yang salah."

"Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana hanya karena ia banyak bicara, tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci dan rasa takut dapat disebut orang bijaksana."

"Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri."

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa aksi demo tersebut tidaklah bijaksana.

Sesuatu hal atau seseorang belum dapat dikatakan bijaksana apabila terdapat unsur kebencian, kemabukan dan kedunguan. Tanpa disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita telah banyak melakukan kesalahan, walaupun ada kalanya tujuan kita baik. Contohnya, manager yang emosional yang memarahi bawahannya di depan orang ramai tanpa memikirkan apakah bawahannya akan sakit hati tidak, orang tua yang memarahi anaknya dengan kata-kata yang tidak tepat, guru sekolah yang menyudutkan muridnya yang kurang mampu dalam memahami materi pelajaran, tokoh politik yang menyudutkan lawannya dengan menunjukkan ayat suci agama yang dianutnya, dan masih banyak contoh lagi.

Akibat dari ketidak bijaksanaan adalah tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Siapapun yang diomeli di hadapan orang ramai (contoh atas) walaupun ia benar-benar bersalah pasti akan menimbulkan rasa malu dan rendah diri, bahkan akan menimbulkan dendam.

Seperti contoh halnya aksi demo ini, maksud dan tujuannya memang baik, tetapi caranya kurang tepat. Walaupun mereka telah mencapai hasil yang diharapkan, tetapi akibat tindakan tersebut adalah ajaran-Nya semakin direndahkan dan dipandang sebagai pencipta kerusuhan, maka muncullah semakin banyak penghinaan terhadap FPI, bahkan seluruh kalangan Muslim. Mungkin apa yang dilakukan itu berawalan dengan maksud yang benar, tetapi dendam akan tetap menimpa diri mereka di kemudian hari.

Dalam sutta Sappurisadhamma (7 hal pencapaian kebijaksanaan) Sang Buddha menguraikan sebagai berikut:

1. Dharmannuta: memaklumi kebenaran-kebenaran yang pasti timbul

Peristiwa suka dan duka silih bergantian dalam kehidupan kita. Dalam kondisi suka, cita-cita dan harapan kita tercapai. Dalam kondisi duka, apa yang kita harapkan tidak tercapai. Sehingga kita harus menyadari suatu kebenaran bahwa semua di alam semesta ini senantiasa berubah.
Dalam kitab suci Vibhangga dikatakan bahwa dengan menyadari kebenaran ini, hendaknya kita:

* basmi segera kejahatan yang telah muncul,
* mencegah kejahatan yang belum muncul,
* timbulkan kebajikan yang belum muncul,
* pertahankan dan kembangkan kebajikan yang telah muncul.

Kebajikan dan kejahatan di sini maksudnya bukan kelakuan, tetapi hal-hal kecil seperti pemikiran, pergaulan dan lain-lain. Agar lebih jelas, silakan baca nomor seterusnya.


2. Atthannuta: Memiliki pengertian yang benar akan Dharma (kebenaran)

Dengan mengerti bahwa semuanya akan mengalami perubahan, maka yang namanya derita tidak akan menyelimuti diri kita karena kita telah tahu bahwa hal itu akan menimpa diri kita, cuman masalahnya adalah cepat atau lambat. Sang Buddha juga menekankan bahwa jasa kebajikanlah yang akan melindung kehidupan masa depan kita.

Contohnya, ketika kita kaya, kita bantu teman yang kurang mampu dengan iklas. Suatu ketika kita bangkrut, teman kita tadi mungkin akan kembali membantu kita.


3. Attannuta: Mampu mengontrol diri sesuai Dharma (kebenaran)

Dengan ini, kita harus mengerti bahwa kelebihan dan kekurangan kita hendaknya tidak akan menimbulkan masalah maupun kedukaan bagi masyarakat. Kita akan menyadari bahwa kelebihan dan kekurangan kita bukan sebuah logis, tetapi merupakan buah karma yang harus diterima.

Contohnya, Anda pandai komputer, kemudian Anda menciptakan virus komputer untuk menyerang komputer orang lain. Menurut Anda mungkin diri Anda adalah yang paling hebat, tetapi pasti akan ada orang lain yang menciptakan antivirus untuk menyerang virus Anda. Anda harus menyadari bahwa Anda pandai komputer karena belajar dengan tekun, itulah buah karma. Tetapi karena kejahatan Anda tadi, Anda akan dihukum, maka hanguslah buah karma tadi. Sebaliknya, orang yang menciptakan antivirus tadi produknya akan menjadi sangat laku.

Jadi, kita harus berpegang pada prinsip hidup yang bermoral, berkreasi demi keharmonisan, ketentraman dan kesejahteraan umum.


4. Mattannuta: Hidup sesuai dengan kebutuhan

Salah satu noda batin yang harus dihilangkan adalah keserakahan. Orang yang serakah dalam hal ini akan menempuh berbagai cara demi kepuasan akan kehausannya yang tiada batas. Dia tidak segan-segan menghalalkan segala tindakan negatif untuk memenuhi ambisinya. Di dunia ini tidak ada kepuasan dalam penikmatan nafsu indrawi.


5. Kalannuta: Mengatur waktu dengan bijaksana

Orang yang suka mengeluh tidak cukup waktu untuk melakukan ini / itu adalah ciri khas orang yang diperbudak oleh waktu. Pengertian benar dalam hal ini belum terwujud sama sekali.

Dalam hal ini, yang terpenting adalah pengertian yang benar akan jalan tengah yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha di mana waktu dimanfaatkan kebijaksanaan mungkin, demi kebahagiaan diri maupun makhluk yang ada dilingkungannya. (Kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan batin, bukan hal duniawi, baca no.4)


6. Parisannuta: Bisa mengerti kenyataan-kenyataan di lingkungannya

Saling menghormati antar sesama yang kurang mampu, yang miskin, yang bodoh, yang cacat, yang jelek dan sebagainya. Hindarilah diri kita dari keangkuhan, karena kita harus tahu apapun perbuatan kita, itulah yang akan kita terima di hari kelak (karma).


7. Puggalaparopannuta: Mengerti akan Dharma menimbulkan kebijaksanaan

Dengan ini kita bisa mengerti apa yang baik dan apa yang jahat. Dengan memaklumi kelebihan dan kekurangan orang lain, kita akan menjauh dari emosional.


Dari 7 hal pencapaian kebijaksanaan di atas, selain no.4 dan no.5, kita bisa ambil kesimpulan bahwa kenapa Buddhis tidak melakukan demo saat dihina? Karena walaupun dihina, sembahyang masih tetap bisa dilakukan, ajaran kasih masih tetap bisa berlanjut. Tetapi bila kita melakukan demo, maka ajaran kita akan dipandang sebagai pemberontak, cengeng, tidak ada etika, Buddhis akan nampak dungu, bahkan dendam akan tertanam dalam diri sasaran demo yang akan membalas kembali kepada Buddhis di kemudian hari.

Jumat, 04 November 2016

Praktek Buddhis Dalam Mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Negara Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi satu jua. Bhinneka artinya beraneka ragam, tunggal artinya satu dan ika artinya itu. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan negara dan bangsa Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam bahasa daerah, budaya, suku, ras, agama serta kepercayaan.



Kata Bhinneka Tunggal Ika dikutip dari kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit. Pada awalnya karangan tersebut digunakan untuk mengajarkan toleransi antara umat Buddha dan umat Hindu.

Topik saya hari ini adalah membicarakan praktek Buddhis dalam menciptakan persatuan dan kesatuan negara Indonesia menurut kesimpulan saya. Perlu diingat, alasannya bukan karena asal-usul semboyan tersebut, jadi semoga Buddhis yang telah membaca artikel saya ini tidak meninggikan dirinya sebagai warga negara Indonesia, atau kita akan binasa seperti ormas tertentu.


1. Praktek Ciri Khas Ajaran Buddha, "Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia".

Hal ini saya kutip dari pembicaraan seorang biksu ketika beliau menanggapi turunnya Patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Waktu itu beliau meyampaikan pikiran beliau yang bermaksud tidak ada ruginya Buddhis mengalah dalam hal ini. (klik ini) Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan beliau yang berbunyi:


*Bila turunnya Patung Buddha bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain, maka doa khas ajaran Buddha telah berwujud:

Maksudnya jika Buddhis menghabiskan waktu hanya untuk melindungi patung tersebut, kemudian berdebat, memancing emosi serta menyebabkan pemberontakan, ujung-ujungnya semua belah pihak akan mengalami kesengsaraan dan dendam yang tidak ketemu ujung pangkal, maka akhirnya akan menyebabkan perpecahan. Jika keadaan ini terjadi, bagaimana bisa mewujudkan "semua makhluk berbahagia"?


*Tidak apa-apa rupang Buddha turun, yang penting kasihmu terhadap semua makhluk hidup tidak ikut turun:

Maksudnya yang terpenting adalah cinta kasih tidak merosot. Patung Buddha bukan hanya arah pedoman waktu sembahyang, tetapi juga guru bagi Buddhis sebagai pedoman dalam melakukan tingkah laku.

Bicara yang nyata saja, walaupun Patung Buddha tersebut turun, masih ada banyak Patung Buddha dan Wihara di mana-mana, Buddhis tetap bisa melakukan ibadah ke seluruh tempat.

Hal ini sama juga dengan tanggapan Ajahn Brahm terhadap kerusuhan Tanjung Balai Juli,2016. Beliau juga menyatakan bahwa walaupun wihara hancur, kita masih bisa bangun lagi. Tetapi bila cinta kasih hancur, maka keseluruhan agama akan hancur. Jika kita berpikir terbalik, maka artinya sama juga dengan tidak ada gunanya kita membuat rupang Buddha dan Wihara yang besar dan mewah jika hati kita tidak ada cinta kasih.


Jadi, peranan di sini dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika adalah pedoman bagi Buddhis untuk mengutamakan cinta kasih terhadap semua orang. Jika kita menanamkan rasa marah ketika kita dihina, kemudian timbul pemberontakan dan perpecahan, maka itu justru merusak kesatuan negara, bahkan merusak ajaran Buddha. Namun itu bukan berarti Buddhis tidak membela agama ketika dihina, tetapi cara yang kita tempuh seharusnya meluruskan kebenaran dan ciri khas ajaran-Nya (klik ini).



2. Pengalaman Saya Sendiri Bahwa Ajaran Buddha Mengakui Sesama Manusia Walaupun Ada Perbedaan

Ini adalah pengalaman saya ketika saya ditolak oleh seorang biksu untuk di-visudhi-kan pada usia 1 tahun, ya ini dengarnya dari cerita orang tua saya.

Visudhi dalam agama Buddha adalah suatu proses untuk meresmikan seseorang sebagai umat-Nya yang sejati. Visudhi sama halnya dengan menerima Sakramen Baptis dalam ajaran Kristen dan pengucapan Syahadat dalam ajaran Islam, merupakan suatu janji yang kekal yang menyatakan dirinya sebagai umat agama.

Tetapi kenapa saya ditolak untuk melakukan visudhi? Menurut cerita orang tua saya, alasan biksu tersebut adalah karena saya belum tahu apa-apa, saya mempunyai hak untuk memilih kepercayaan di kemudian hari.


Hal ini menggambarkan sikap Buddhis, yaitu mengakui sesama perbedaan. Sejak masa awal pewartaan ajaran Buddha, Buddha Gautama tidak ingin ajaran-Nya dipromosikan, atau menjadi idola, tetapi beliau ingin manusia berbuat baik dan saling menyayangi antar sesama dan terhadap lingkungan.

Ciri khas tersebut bersatu arah dengan maksudnya Bhinneka Tunggal Ika, yaitu mengakui sesama manusia walaupun terdapat perbedaan.


Dari dua hal ini saja, dapat kita ambil kesimpulan bahwa praktek Buddhis dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika adalah karena agama Buddha mengakui perbedaan, sehingga agama Buddha ingin segala konflik diselesaikan secara damai dengan menempuh jalan cinta kasih, guna menjaga kesatuan manusia agar tetap utuh. Bila kesatuan sudah utuh, maka tidak ada lagi yang bisa menghancurkannya.