Kamis, 01 Juni 2017

Kiriman Teman: Bhikkhu, Uang, Kappiya & Undangan

Topik yang akan saya bicarakan hari ini, ya hanya sekedar membagi informasi yang saya dapatkan dari kiriman teman. Terima kasih kepada teman saya di facebook ini, yaitu mengenai sedikit informasi tentang Bhikkhu, uang, kappiya dan undangan. Silakan disimak:

Bhikkhu, Uang, Kappiya & Undangan
"Sāpattikassa bhikkhave, nirayaṃ vā
vadāmi tiracchānayoniṃ vā".
Bagi bhikkhu yang memiliki pelanggaran, neraka
atau alam binatang menjadi tujuannya.
( Sārattadīpanī Ṭīkā 3 )

Bhikkhu hidupnya bergantung kepada kedermawanan umat awam dalam hal empat kebutuhan utama seperti jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Pada saat pagi sampai sebelum tengah hari seorang bhikkhu pergi untuk mengumpulkan dāna makanan dari umat yang berkeyakinan atau dayaka (penyokong).

Pada saat umat memberikan makanan, minumanan obat-obatan kepada seorang bhikkhu, jarak antara umat dengan bhikkhu jangan terlalu dekat dan jangan terlalu jauh. Jaraknya 2,5 Hattha atau
kira-kira satu rentangan tangan. Sebaiknya tidak menggunakan alas kaki dan memiliki niat yang luhur.

Setelah tengah hari makanan pokok, makanan ringan serta minuman susu dari kacang-kacangan dan susu dari berbagai binatang tidak boleh diberikan kepada seorang bhikkhu.

Setelah tengah hari seorang bhikkhu dapat menerima dan meminum madu, gula, minyak, mentega, Ghee serta minuman jus dari buah, bunga dan sayuran. 

Jus dari buah yang diperbolehkan seperti jus dari buah jeruk, jeruk lemon, apel, anggur, alpukat, mangga, pisang, asam jawa, pepaya, nanas, lici dan lain-lain. Jus dari buah-buahan ini harus disaring sampai tidak ada ampasnya dan harus cair. 

Jus dari sembilan buah yang berukuran besar tidak boleh diberikan kepada bhikkhu setelah tengah hari seperti buah lontar, kelapa, nangka, sukun, labu botol, labu putih, melon, semangka dan gambas
(oyong, buahnya hijau sebesar mentimun, kulitnya bersegi-segi, dagingnya masih muda empuk berongga seperti kapas, biasa dibuat sayur).

Jus dari sayuran yang diperbolehkan termasuk semua jenis sayuran, kecuali mentimun. Dalam proses pembuatan jus sayuran tersebut tidak boleh dengan cara dimasak atau direbus, harus disaring sampai tidak ada ampasnya dan harus cair. Semua jus hanya dapat dihangatkan di bawah sinar matahari, jika diperlukan.

Ada empat kebutuhan utama dari seorang bhikkhu, serta ada kebutuhan lainnya seperti kebutuhan untuk kegiatan belajar dan mengajar Dhamma serta kebutuhan untuk transportasi. Kebutuhan-kebutuhan bhikkhu ini diberikan oleh umat yang berkeyakinan atau dayaka. 


Uang

Umat tidak boleh memberikan uang kepada seorang bhikkhu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bhikkhu tersebut. Uang dalam bentuk apapun, Cek, Giro, Buku Tabungan, Kartu ATM, Kartu Kredit atau amplop yang berisi uang dan alat tukar lainnya yang memiliki fungsi sama seperti uang DILARANG diberikan kepada seorang bhikkhu manapun, dengan cara apapun, dengan alasan apapun, kapanpun dan di manapun.

Sang Buddha telah menetapkan peraturan mengenai emas dan perak (uang) pada Nissaggiya-Pācittiya ke-18 dalam Pātimokkha Bhikkhu. Yaitu:

"Bhikkhu manapun yang menerima emas dan perak (uang) atau membuatnya diterima atau menyetujui ketika itu disimpan (di dekatnya), itu harus diserahkan dan diakui".


Alasan utama Sang Buddha melarang seorang bhikkhu untuk memiliki uang:

Sang Buddha berkata, “… kepada siapapun uang diperbolehkan, maka kepada dirinya juga lima jenis
kesenangan indra diperbolehkan; kepada siapapun lima jenis kesenangan indra diperbolehkan, maka kalian dapat memastikan, ia tidak memiliki sifat seperti seorang bhikkhu…”. (Maṇicūḷaka Sutta, Saṃyutta Nikāya)


Sang Buddha mengizinkan Meṇḍaka Sikkhāpada:

"Santi, bhikkhave, manussā saddhā pasannā, te kappiyakārakānaṃ hatthe hiraññaṃ upanikkhipanti – ‘iminā ayyassa yaṃ kappiyaṃ taṃ dethā’ti. Anujānāmi, bhikkhave, yaṃ tato kappiyaṃ taṃ sādituṃ; na tvevāhaṃ, bhikkhave, kenaci pariyāyena jātarūparajataṃ sāditabbaṃ pariyesitabbanti vadāmī’’ti.

"Terdapatlah, bhikkhu, umat yang berkeyakinan, dia mempercayakan emas ke tangan kappiya untuk disimpan. 'Ini untuk Yang Mulia, apapun yang diizinkan bagi mereka, anda berikan pada mereka.' 

Saya menyatakan, bhikkhu, apapun yang diizinkan kalian boleh terima; tetapi Saya tidak pernah menyatakan, bhikkhu, bahwa apapun bentuk emas dan perak boleh diterima dan dicari". (Mahāvagga Pāḷi, Vinaya; paragraf 342)


Kappiya
 
Kappiya adalah seorang umat yang dapat membantu, menyalurkan atau menjadi perantara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu yang berasal dari umat atau dayaka. Kappiya bisa ditunjuk oleh pendonor, bhikkhu dan kappiyanya sendiri yang menawarkan diri untuk jadi kappiya. Kappiya harus rajin, jujur serta memiliki pengetahuan Dhamma dan Vinaya, sehingga ia dapatmembantu bhikkhu sesuai dengan Dhamma dan Vinaya.

Jika umat yang berkeyakinan atau dayaka ingin mempercayakan uang ke tangan kappiya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu, terdapat tiga tahapan prosedur yaitu:

Prosedur I: Umat datang ke kappiya

Bila umat A belum tahu siapa kappiya Bhikkhu B. Maka umat A dapat tanya ke Bhante B. "Bhante, siapa kappiya Bhante?".

Jawab Bhikkhu B: "Bagus kappiya saya".

Kemudian umat A datang ke Bagus dan berkata:
"Saya mempercayakan uang kepada kamu untuk kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang
bhikkhu yang nilainya sama besar dengan Rp. .......... . Kebutuhan ini untuk Bhante B. Bila Bhante B butuh sesuatu, silahkan atur dengan kamu".


Prosedur II: Umat menginformasikan ke Bhikkhu B

"Bhante, saya memberikan kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu yang nilainya sama besar dengan Rp. .......... . Saya telah mempercayakan kepada Bagus. Bila Bhante butuh sesuatu, silahkan beritahu kepada Bagus.

 
Prosedur III: Kappiya lapor ke Bhikkhu B

"Bhante, umat A telah memberikan kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu yang nilainya sama besar dengan Rp. .......... kepada Bhante. Bila Bhante butuh sesuatu, silahkan beritahu saya, saya akan mengaturnya".


Penjelasan singkat dari prosedur di atas:

1. Setelah semua tahapan ini dijalankan, maka Bhikkhu B dapat meminta kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan kepada Bagus.
2. Umat A tidak memberikan uang kepada Bhikkhu B, tetapi Bhikkhu B hanya menerima kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan dan bukan uangnya. Uangnya tetap milik umat A. Uang tersebut bukan milik Bhikkhu B maupun Bagus.
3. Jika kappiya tidak melakukan tugasnya, Bhikkhu B harus lapor ke umat A tentang apa yang terjadi dan menyarankan agar mengambil kembali uangnya dari Bagus, sebelum uangnya hilang.



Undangan

Menurut peraturan Pācittiya ke-47, seorang bhikkhu hanya boleh meminta sesuatu dari seorang umat awam jika sedang sakit atau meminta dari sanak keluarganya atau ke umat awam yang telah memberikan pavāraṇā (undangan). Umat yang berkeyakinan atau dayaka boleh memberikan pavāraṇā kepada seorang bhikkhu. 

Bila umat atau dayaka sudah berpavāraṇā kepada Bhikkhu B, maka Bhikkhu B dapat meminta kebutuhan-kebutuhan yang diizinkan bagi seorang bhikkhu sesuai dengan undangan tersebut.

Misalnya: 

"Bhante, saya ingin berpavāraṇa. Bila Bhante membutuhkan sesuatu, silahkan Bhante beritahu kepada saya." (Pavāraṇā tersebut hanya berlaku untuk jangka waktu 4 bulan, kecuali umat mengulang pavāraṇānya atau memberikan pavāraṇā untuk jangka panjang.)



Sekian informasinya.

Kamis, 18 Mei 2017

Argumen Bahwa Buddhis Bukan Penyembah Berhala

Pada posting sebelumnya saya menuliskan bahwa poster acara dari GBI Mawar Saron Jakarta menyebutkan penyembahan berhala dengan memasangkan sikap anjali pada posternya, yang seolah-olah bermaksudkan bahwa Buddhis adalah penyembah berhala.


Selain ini, akhir-akhir ini juga beredar sebuah video di medsos yang berisi kotbah dari Ustadz Felix Siauw, yang mengatakan bahwa Buddhis menyembah berhala dengan men-Tuhankan manusia dan membuat patung-patung serupa mereka. Saya akan membagikan link ke video tersebut, tapi siapkanlah kesabaran kalian untuk melihatnya. Semoga video ini tidak menjadi provokator:



Entah takdir atau kebetulan
 
Tidak lama kemudian, saya menemukan sebuah argumen yang menjelaskan bahwa Buddhis bukan penyembah berhala. Argumen tersebut bersifat tulisan yang saya dapatkan dari seorang teman di facebook. 

Terkadang saya mendengar percakapan dari pendeta agama non-Buddha menyatakan bahwa agama Buddha, Hindu dan Konghucu itu menyembah berhala. Kadang saya ingin menjelaskan arti sebenarnya kepada mereka, tetapi kata-kata saya terbelit-belit.

Jadi, saya ingin membagikan argumen tersebut di sini karena saya merasa sangat berguna bagi diri saya untuk menghadapi pertanyaan "berhala" di kemudian hari. Semoga argumen ini juga berguna bagi umat Hindu dan Konghucu juga.

Karena argumen ini sangat panjang, jadi mohon perkenankan saya untuk copy-paste saja ^.^


Penganut Buddhisme tidak menyembah berhala
oleh: Selamat Rodjali


Berikut ini argumen2 untuk menjelaskan bahwa Buddhist tidak menyembah patung batu dan kayu. 

Penyembah berhala, apakah tolak ukurnya?

Ketika saya bertemu dengan doktor pribadi saya, beliau bertanya tentang kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui merek religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan saya disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di surga abadi.

Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah benar saya menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya, saya menghormat dan memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik, keberhasilan dan sebagainya kepada patung yang terbuat dari batu dan tak ada bedanya dengan animisme, penyembah batu, religius berhala.

Kemudian saya berkata: "Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan bahwa perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran saya sendiri, darimanakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan memohon¬mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran saya, tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya."

Maka iapun menjawab bahwa kebanyakan, orang yang bertingkah laku di depan patung adalah demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan memohon kepada patung.

Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: "Ketika rakyat suatu negara mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada bendera itu?"

Dokter saya menjawab, bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan / kualitas jasa para pahlawan sehingga secara alamiah mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para pahlawannya."

Kemudian saya lanjutkan: "Mungkinkah penganut religius yang dokter sebut sebagai penyembah patung/berhala tadi, ketika berlutut di bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi, atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang sedang mengenang jasa para pahlawannya?"

Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali bertanya: "Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai penyembah patung/berhala, dan jika saya melakukan seperti itu, apakah tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah berhala?"

Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: "Mengapa tidak?" Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut.

Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada beliau: "Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara sangat terbuka, oleh karena itu ijinkanlah saya bertanya secara terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter dalam mempraktikkan kepercayaan religius yang dokter anut, acap kali meminta atau memohon sesuatu (keselamatan, rejeki dsb) kepada sesuatu yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?"

Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi: "Selama ini saya telah salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami, maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon sesuatu (rejeki, kesehatan, keselamatan dan sebagainya) kepada sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya, selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa syukur atas keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu lagi.

Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki ruang yang terdapat patung seorang guru besar yang bernama Gotama.

Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun, memang kebanyakan para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala.

Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu bagi para pemula (bagi yang telah pandai sama sekali tidak memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya seperti yang dimiliki oleh guru besar Gotama, yaitu:
1. Murah-hati (dermawan)
2. Bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak memakan atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan)
3. Tidak terikat/tidak melekat
4. Bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. Bersemangat
6. Sabar
7. Selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. Memiliki tekad yang kuat
9. Memiliki cinta kasih terhadap semua mahluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)
10. Sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)

Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak menjadi masalah. Guru besar kami sama sekali tidak mengajarkan pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati. 

Tindakan melalui pikiran, ucapan dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap mahluk mengharapkan kebahagiaan, namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, meminta-minta.
Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses sebab akibat ini akan berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka berproses secara alamiah. 

Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan saya secara sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga dan secara sukarela pula berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan ancaman neraka. 

Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan kesalahpahaman antar penganut religius.

Jumat, 12 Mei 2017

Sikap Anjali Pada Poster Acara Kristen


Serial Kotbah 7 berhala yang diadakan oleh Gereja Bethel Indonesia (GBI) Mawar Saron Jakarta pada bulan Agustus - September 2016 kemarin. Kebetulan saya menemukan poster ini di google. Saya langsung terkesan dengan desain judul acara pada poster itu.

Perhatikan huruf "L" pada kata berhala, telah digantikan dengan bentuk sikap anjali. Kenapa harus digantikan dengan sikap anjali?

Saya tidak tahu apa isi acara tersebut juga, karena saya bukan orang Jakarta. Jadi, saya tidak pasti apakah di dalam acara tersebut ada pelecehan terhadap agama Buddha.

Tetapi yang pasti di sini adalah pergantian sikap anjali pada huruf L di atas telah menyinggung ajaran Buddha.

Di dalam ajaran Kristen, berhala artinya patung atau lukisan Dewa, yang kemudian artinya meluas menjadi makhluk atau benda apa aja yang disembah di samping perintah Allah. Menurut Kristiani, menyembah berhala itu dosa.

Landasan hukum tersebut:

Markus 7:9, Yesus berkata pula kepada mereka, "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadatmu sendiri".

Keluaran 20:4, Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.

Oleh karena itu, Kristiani juga menganggap menyembah rupang Buddha juga merupakan menyembah berhala dan itulah suatu dosa dalam hukum Kristiani.


Agama Buddha = menyembah berhala ??

Sebenarnya, yang sering saya temukan di sini bahwa orang-orang yang menyebut umat Buddha itu menyembah berhala adalah orang-orang yang bukan lahir dari keluarga Buddha, dan juga mantan-mantan umat Buddha yang murtad ke agama lain.

Orang-orang yang bukan lahir dari keluarga Buddha ini otomatis hanya melihat acara penyembahan Buddha, tetapi sebenarnya mereka tidak mengerti tentang agama Buddha. Tetapi yang menyakitkan hati di sini adalah mantan umat Buddha tersebut juga menganggap demikian.

Seperti yang saya jelaskan di pendahuluan, banyak orang yang meninggalkan agama Buddha itu memberi kesaksian mereka tentang alasan kenapa mereka murtad sambil menjelekkan ajaran Buddha. Padahal dari kesaksian yang mereka sampaikan tersebut membuat saya tertawa.

Di antara mereka, ada yang meminta kepada Buddha agar angka yang mereka beli keluar, minta bisinisnya sukses padahal dirinya seorang penjudi, minta kesehatan padahal perokok dan pemabuk, dan lain-lain.

Jadi, apakah Buddha itu menyembah berhala?

Sebenarnya ajaran Buddha bukan sekedar menyembah Buddha, tetapi menyatakan perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, serta berperilaku sesuai Pancasila, yaitu hindari pembunuhan, pencurian, pencabulan, pembohongan, serta senantiasa bersadar.

Sedangkan sikap anjali adalah tanda tata krama dan rendah hati. Mengenai hal ini, sebenarnya dalam ajaran Kristen juga ada sikap bersujud, yang maknanya juga rendah hati. Jadi, seolah-olah poster itu juga menghina ajarannya sendiri.

Saya tidak tahu apakah desain poster itu sesuai pemikiran designer sendiri, atau memang diminta pihak gereja. Tapi perlu disampaikan di sini agar lebih memperhatikan ketika dalam pembuatan poster dan media lainnya.

Rabu, 09 November 2016

Emosi Yang Mengunci Kesadaran

Hari ini saya akan tetap membahas kasus penistaan agama yang melibatkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kemarin saya sudah membahas kesadaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi penghinaan terhadap agama Buddha. Ketika kita sadar, kita akan bertindak bijak dalam meluruskan dan mewartakan kebenaran ajaran Buddha. (klik sini) dan (klik sini)

Mungkin Anda bertanya, hal itu tidak ada hubungannya dengan Buddhis, lagipula membahas hal ini bertentangan dengan jalannya ajaran Buddha, kenapa saya tetap ambil contoh peristiwa ini? 

Karena hal itu sedang panas terjadi dan bukan lagi menyangkut kepentingan sepihak lagi. Tetapi bersamaan dengan demo yang dilakukan pada tanggal 4 November kemarin, terlihat efek yang terahasia, bukan hanya mengusir Tionghoa, tetapi juga kudeta untuk membentuk negara Islam.


Demo dan segala keluhan yang dilakukan Muslim selama dua bulan ini sudah semakin sesat tujuannya. Saya tidak ngerti lagi apa orientasi perjuangan mereka, bukan lagi semangat pembelaan yang saya nampak, tetapi emosi orang dungu yang berkobar-kobar.

Kenapa saya bilang begitu?

1. Tujuan perjuangan yang semakin tidak jelas

Permulaan dari perjuangan ini adalah membela ajaran Islam karena disangka telah dinista. Tetapi kenapa justru ada umat Muslim yang mau menyangkal petinggi agamanya sendiri yang berbeda pendapat?

Syafi'i Ma'arif (Buya Syafi'i), guru besar dan ketua umum PP Muhammadiyah (1999-2005) menanggapi peristiwa tersebut dengan memihak kepada Ahok. Alasannya karena menurut penelitian beliau, pembicaraan Ahok yang disangka menista agama itu sama sekali tidak ada unsur penistaan terhadap Al-Quran, tetapi tujuannya adalah orang-orang yang memperalat Al-Quran untuk kepentingan politik. Namun konsekuensi dari tanggapan beliau adalah mendapat ejekan dari umatnya yang se-agama (klik sini).



Selain itu, juga terdapat seseorang yang memberikan pencerahan melalui facebook seperti gambar di bawah ini:

Konsekuensinya, seperti yang Anda nampak di atas, komentar seseorang yang menyebutnya sebagai Ahoker.

Bila seorang anak sayang kepada orang tuanya, maka ia akan patuh kepada perintah orang tuanya. Tetapi kadang emosional akan mengontrol pikiran dirinya, menyebabkan kesadarannya hilang dan membuat dia bertindak iseng.

Jadi, tindakan Muslim yang menyangkal petingginya adalah sebuah tindakan yang sewenang-wenang. Batin mereka sudah gelap. Pandangan mereka sudah buta. Pikiran mereka telah dikontrol oleh emosional. Mereka sudah tidak bisa berpikir lagi. Mereka hanya mau mendengar pembicaraan yang sejalan dengan pikiran mereka, yang seolah-olah memuji pikiran mereka itu benar. Hal itu tidak mengingatkan saya pada pahlawan siapa pun, tetapi lebih mirip dengan balita-balita di taman kanak-kanak.




2. Tidak mengetahui sebab akibat

Peristiwa tersebut menjadi terbakar gara-gara video yang diunggah oleh Buni Yani. Buni Yani pun sudah minta maaf kepada publik dan mengakui kesalahannya bahwa dia telah melakukan salah transkrip. Setelah itu pun muncul petisi agar menjalankan hukum terhadap Buni Yani karena telah menjadi provokator. Anehnya di sini, ada juga petisi yang menyatakan "save Buni Yani" karena alasan kalangan Muslim bahwa mereka berjuang menghukum penista agama, bukan transkripsi video.

Menurut mereka, transkripsi video tersebut tidak ada hubungannya dengan penistaan agama. Tetapi menurut saya, tanggapan tersebut adalah tanggapan orang dungu. Kenapa? Karena mereka tidak menyadari penyebabnya. Kenapa mereka merasa marah terhadap pembicaraan Ahok yang tersangka menista agama? Penyebabnya bukan karena mereka mendengar sendiri pembicaraan Ahok tersebut, tetapi mereka mengetahuinya melalui video yang diunggah Buni Yani tersebut. 

Oleh karena itu, kebenaran video tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan. Jika Buni Yani merasa salah transkripsi, kenapa dia masih sengaja mengunggah video tersebut? Tujuannya apa?


Jadi, ini adalah sebuah pembelajaran bagi kita, yaitu agar kita bisa mengendalikan diri kita menjauhi emosi dan kebencian, agar kita tetap sadar dan bisa mewujudkan kebijaksanaan.

"Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya."

"Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya. Selama seseorang masih menyimpan pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan pernah berakhir."

"Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa dalam pertengkaran mereka akan binasa, tetapi mereka yang dapat menyadari kebenaran ini akan segera mengakhiri semua pertengkaran."

"Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu, orang bijaksana mengendalikan dirinya."

Selasa, 08 November 2016

Orang yang Bijak

Jakarta, 4 November 2016, terjadi aksi demo yang menuduh Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bahwa beliau telah melakukan penistaan agama dalam pembicaraannya di Pulau Seribu. Demo tersebut dipimpin oleh Front Pembela Islam (FPI) beserta puluh ribuan Muslim dari berbagai daerah Indonesia.

Pada tanggal itu juga, saya membahas hal itu melalui medsos bersama seorang teman saya yang Muslim. Komentar kita di medsos dimulai dengan candaan, tetapi ujung-ujungnya menimbulkan keraguan saya. Saya menanyakan kepada dirinya, apakah dia juga mengikuti demo tersebut? Dirinya jawab tidak ada ongkos pesawat terbang. Kemudian saya tanyakan lagi, kenapa tidak lakukan saja aksi damai berupa meluruskan ajaran saja, atau laporkan Ahok ke polisi saja, seperti contoh ketika Agama Buddha dihina? (klik sini) Kemudian dia menjelaskan, "Karena ajaran kita beda. Dalam agama kita (Islam), kita harus bergerak membela agama kita ketika dihina."



Artikel ini tidak akan membahas perbedaan antara 2 agama ini, tetapi saya mau membahas apakah FPI yang memimpin demo tersebut telah melakukan sesuatu yang bijak menurut Dhammapada?


"Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, tidak dapat dikatakan sebagai orang adil. Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang bensar dan mana yang salah."

"Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana hanya karena ia banyak bicara, tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci dan rasa takut dapat disebut orang bijaksana."

"Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri."

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa aksi demo tersebut tidaklah bijaksana.

Sesuatu hal atau seseorang belum dapat dikatakan bijaksana apabila terdapat unsur kebencian, kemabukan dan kedunguan. Tanpa disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita telah banyak melakukan kesalahan, walaupun ada kalanya tujuan kita baik. Contohnya, manager yang emosional yang memarahi bawahannya di depan orang ramai tanpa memikirkan apakah bawahannya akan sakit hati tidak, orang tua yang memarahi anaknya dengan kata-kata yang tidak tepat, guru sekolah yang menyudutkan muridnya yang kurang mampu dalam memahami materi pelajaran, tokoh politik yang menyudutkan lawannya dengan menunjukkan ayat suci agama yang dianutnya, dan masih banyak contoh lagi.

Akibat dari ketidak bijaksanaan adalah tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Siapapun yang diomeli di hadapan orang ramai (contoh atas) walaupun ia benar-benar bersalah pasti akan menimbulkan rasa malu dan rendah diri, bahkan akan menimbulkan dendam.

Seperti contoh halnya aksi demo ini, maksud dan tujuannya memang baik, tetapi caranya kurang tepat. Walaupun mereka telah mencapai hasil yang diharapkan, tetapi akibat tindakan tersebut adalah ajaran-Nya semakin direndahkan dan dipandang sebagai pencipta kerusuhan, maka muncullah semakin banyak penghinaan terhadap FPI, bahkan seluruh kalangan Muslim. Mungkin apa yang dilakukan itu berawalan dengan maksud yang benar, tetapi dendam akan tetap menimpa diri mereka di kemudian hari.

Dalam sutta Sappurisadhamma (7 hal pencapaian kebijaksanaan) Sang Buddha menguraikan sebagai berikut:

1. Dharmannuta: memaklumi kebenaran-kebenaran yang pasti timbul

Peristiwa suka dan duka silih bergantian dalam kehidupan kita. Dalam kondisi suka, cita-cita dan harapan kita tercapai. Dalam kondisi duka, apa yang kita harapkan tidak tercapai. Sehingga kita harus menyadari suatu kebenaran bahwa semua di alam semesta ini senantiasa berubah.
Dalam kitab suci Vibhangga dikatakan bahwa dengan menyadari kebenaran ini, hendaknya kita:

* basmi segera kejahatan yang telah muncul,
* mencegah kejahatan yang belum muncul,
* timbulkan kebajikan yang belum muncul,
* pertahankan dan kembangkan kebajikan yang telah muncul.

Kebajikan dan kejahatan di sini maksudnya bukan kelakuan, tetapi hal-hal kecil seperti pemikiran, pergaulan dan lain-lain. Agar lebih jelas, silakan baca nomor seterusnya.


2. Atthannuta: Memiliki pengertian yang benar akan Dharma (kebenaran)

Dengan mengerti bahwa semuanya akan mengalami perubahan, maka yang namanya derita tidak akan menyelimuti diri kita karena kita telah tahu bahwa hal itu akan menimpa diri kita, cuman masalahnya adalah cepat atau lambat. Sang Buddha juga menekankan bahwa jasa kebajikanlah yang akan melindung kehidupan masa depan kita.

Contohnya, ketika kita kaya, kita bantu teman yang kurang mampu dengan iklas. Suatu ketika kita bangkrut, teman kita tadi mungkin akan kembali membantu kita.


3. Attannuta: Mampu mengontrol diri sesuai Dharma (kebenaran)

Dengan ini, kita harus mengerti bahwa kelebihan dan kekurangan kita hendaknya tidak akan menimbulkan masalah maupun kedukaan bagi masyarakat. Kita akan menyadari bahwa kelebihan dan kekurangan kita bukan sebuah logis, tetapi merupakan buah karma yang harus diterima.

Contohnya, Anda pandai komputer, kemudian Anda menciptakan virus komputer untuk menyerang komputer orang lain. Menurut Anda mungkin diri Anda adalah yang paling hebat, tetapi pasti akan ada orang lain yang menciptakan antivirus untuk menyerang virus Anda. Anda harus menyadari bahwa Anda pandai komputer karena belajar dengan tekun, itulah buah karma. Tetapi karena kejahatan Anda tadi, Anda akan dihukum, maka hanguslah buah karma tadi. Sebaliknya, orang yang menciptakan antivirus tadi produknya akan menjadi sangat laku.

Jadi, kita harus berpegang pada prinsip hidup yang bermoral, berkreasi demi keharmonisan, ketentraman dan kesejahteraan umum.


4. Mattannuta: Hidup sesuai dengan kebutuhan

Salah satu noda batin yang harus dihilangkan adalah keserakahan. Orang yang serakah dalam hal ini akan menempuh berbagai cara demi kepuasan akan kehausannya yang tiada batas. Dia tidak segan-segan menghalalkan segala tindakan negatif untuk memenuhi ambisinya. Di dunia ini tidak ada kepuasan dalam penikmatan nafsu indrawi.


5. Kalannuta: Mengatur waktu dengan bijaksana

Orang yang suka mengeluh tidak cukup waktu untuk melakukan ini / itu adalah ciri khas orang yang diperbudak oleh waktu. Pengertian benar dalam hal ini belum terwujud sama sekali.

Dalam hal ini, yang terpenting adalah pengertian yang benar akan jalan tengah yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha di mana waktu dimanfaatkan kebijaksanaan mungkin, demi kebahagiaan diri maupun makhluk yang ada dilingkungannya. (Kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan batin, bukan hal duniawi, baca no.4)


6. Parisannuta: Bisa mengerti kenyataan-kenyataan di lingkungannya

Saling menghormati antar sesama yang kurang mampu, yang miskin, yang bodoh, yang cacat, yang jelek dan sebagainya. Hindarilah diri kita dari keangkuhan, karena kita harus tahu apapun perbuatan kita, itulah yang akan kita terima di hari kelak (karma).


7. Puggalaparopannuta: Mengerti akan Dharma menimbulkan kebijaksanaan

Dengan ini kita bisa mengerti apa yang baik dan apa yang jahat. Dengan memaklumi kelebihan dan kekurangan orang lain, kita akan menjauh dari emosional.


Dari 7 hal pencapaian kebijaksanaan di atas, selain no.4 dan no.5, kita bisa ambil kesimpulan bahwa kenapa Buddhis tidak melakukan demo saat dihina? Karena walaupun dihina, sembahyang masih tetap bisa dilakukan, ajaran kasih masih tetap bisa berlanjut. Tetapi bila kita melakukan demo, maka ajaran kita akan dipandang sebagai pemberontak, cengeng, tidak ada etika, Buddhis akan nampak dungu, bahkan dendam akan tertanam dalam diri sasaran demo yang akan membalas kembali kepada Buddhis di kemudian hari.

Jumat, 04 November 2016

Praktek Buddhis Dalam Mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Negara Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi satu jua. Bhinneka artinya beraneka ragam, tunggal artinya satu dan ika artinya itu. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan negara dan bangsa Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam bahasa daerah, budaya, suku, ras, agama serta kepercayaan.



Kata Bhinneka Tunggal Ika dikutip dari kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit. Pada awalnya karangan tersebut digunakan untuk mengajarkan toleransi antara umat Buddha dan umat Hindu.

Topik saya hari ini adalah membicarakan praktek Buddhis dalam menciptakan persatuan dan kesatuan negara Indonesia menurut kesimpulan saya. Perlu diingat, alasannya bukan karena asal-usul semboyan tersebut, jadi semoga Buddhis yang telah membaca artikel saya ini tidak meninggikan dirinya sebagai warga negara Indonesia, atau kita akan binasa seperti ormas tertentu.


1. Praktek Ciri Khas Ajaran Buddha, "Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia".

Hal ini saya kutip dari pembicaraan seorang biksu ketika beliau menanggapi turunnya Patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Waktu itu beliau meyampaikan pikiran beliau yang bermaksud tidak ada ruginya Buddhis mengalah dalam hal ini. (klik ini) Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan beliau yang berbunyi:


*Bila turunnya Patung Buddha bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain, maka doa khas ajaran Buddha telah berwujud:

Maksudnya jika Buddhis menghabiskan waktu hanya untuk melindungi patung tersebut, kemudian berdebat, memancing emosi serta menyebabkan pemberontakan, ujung-ujungnya semua belah pihak akan mengalami kesengsaraan dan dendam yang tidak ketemu ujung pangkal, maka akhirnya akan menyebabkan perpecahan. Jika keadaan ini terjadi, bagaimana bisa mewujudkan "semua makhluk berbahagia"?


*Tidak apa-apa rupang Buddha turun, yang penting kasihmu terhadap semua makhluk hidup tidak ikut turun:

Maksudnya yang terpenting adalah cinta kasih tidak merosot. Patung Buddha bukan hanya arah pedoman waktu sembahyang, tetapi juga guru bagi Buddhis sebagai pedoman dalam melakukan tingkah laku.

Bicara yang nyata saja, walaupun Patung Buddha tersebut turun, masih ada banyak Patung Buddha dan Wihara di mana-mana, Buddhis tetap bisa melakukan ibadah ke seluruh tempat.

Hal ini sama juga dengan tanggapan Ajahn Brahm terhadap kerusuhan Tanjung Balai Juli,2016. Beliau juga menyatakan bahwa walaupun wihara hancur, kita masih bisa bangun lagi. Tetapi bila cinta kasih hancur, maka keseluruhan agama akan hancur. Jika kita berpikir terbalik, maka artinya sama juga dengan tidak ada gunanya kita membuat rupang Buddha dan Wihara yang besar dan mewah jika hati kita tidak ada cinta kasih.


Jadi, peranan di sini dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika adalah pedoman bagi Buddhis untuk mengutamakan cinta kasih terhadap semua orang. Jika kita menanamkan rasa marah ketika kita dihina, kemudian timbul pemberontakan dan perpecahan, maka itu justru merusak kesatuan negara, bahkan merusak ajaran Buddha. Namun itu bukan berarti Buddhis tidak membela agama ketika dihina, tetapi cara yang kita tempuh seharusnya meluruskan kebenaran dan ciri khas ajaran-Nya (klik ini).



2. Pengalaman Saya Sendiri Bahwa Ajaran Buddha Mengakui Sesama Manusia Walaupun Ada Perbedaan

Ini adalah pengalaman saya ketika saya ditolak oleh seorang biksu untuk di-visudhi-kan pada usia 1 tahun, ya ini dengarnya dari cerita orang tua saya.

Visudhi dalam agama Buddha adalah suatu proses untuk meresmikan seseorang sebagai umat-Nya yang sejati. Visudhi sama halnya dengan menerima Sakramen Baptis dalam ajaran Kristen dan pengucapan Syahadat dalam ajaran Islam, merupakan suatu janji yang kekal yang menyatakan dirinya sebagai umat agama.

Tetapi kenapa saya ditolak untuk melakukan visudhi? Menurut cerita orang tua saya, alasan biksu tersebut adalah karena saya belum tahu apa-apa, saya mempunyai hak untuk memilih kepercayaan di kemudian hari.


Hal ini menggambarkan sikap Buddhis, yaitu mengakui sesama perbedaan. Sejak masa awal pewartaan ajaran Buddha, Buddha Gautama tidak ingin ajaran-Nya dipromosikan, atau menjadi idola, tetapi beliau ingin manusia berbuat baik dan saling menyayangi antar sesama dan terhadap lingkungan.

Ciri khas tersebut bersatu arah dengan maksudnya Bhinneka Tunggal Ika, yaitu mengakui sesama manusia walaupun terdapat perbedaan.


Dari dua hal ini saja, dapat kita ambil kesimpulan bahwa praktek Buddhis dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika adalah karena agama Buddha mengakui perbedaan, sehingga agama Buddha ingin segala konflik diselesaikan secara damai dengan menempuh jalan cinta kasih, guna menjaga kesatuan manusia agar tetap utuh. Bila kesatuan sudah utuh, maka tidak ada lagi yang bisa menghancurkannya.

Jumat, 28 Oktober 2016

Teladan Biksu Menanggapi Turunnya Patung Buddha Tanjung Balai

Patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna yang berlokasi di Jalan Asahan Tanjung Balai, Sumatera Utara, dipindahkan secara resmi pada bulan Oktober, 2016. Patung Buddha tersebut bertinggi 6 meter, diresmikan sejak tanggal 8 November 2009.

Pemindahan patung Buddha Amitabha tersebut dilakukan sesuai kesepakatan antara Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial SH MH bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Tanjung Balai, Ketua FKUB, Ketua MUI serta Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna pada tanggal 1 September 2016. 

Sesuai surat pernyataan yang dibuat Pek Tjhong Li alias Akun, selaku Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna Tanjung Balai mengatakan, demi terciptanya suasana kondusif dan hubungan harmonis di antara umat beragama di Kota Tanjung Balai:

"Karena itu, dengan ini kami (Yayasan Vihara Tri Ratna) menyatakan bersedia memindahkan posisi patung Buddha Amitabha ke tempat yang telah disepakati."

Mengenai hal itu, seorang biksu, Karma Zopa Gyatsho, mengungkapkan tanggapan beliau melalui facebook. Isinya ada di gambar berikut:


Inti pokoknya adalah tidak apa-apa walaupun Patung Buddha diturunkan, yang penting cinta kasih kepada makhluk hidup tidak diturunkan. Bila turunnya Patung Buddha bisa memberi kebahagiaan bagi orang lain, maka doa khas umat Buddha, "Semoga semua makhluk hidup berbahagia", berwujud menjadi kenyataan. (klik sini)

Tribunnews yang membawa berita tersebut memuji tanggapan beliau bikin adem dan jadi viral karena menyentuh hati banyak orang.


Menurut saya, tanggapan tersebut perlu kita jadikan sebagai teladan dalam hidup kita, karena:

"Pengorbanan atau persembahan apa pun yang dilakukan oleh seseorang selama seratus tahun, untuk memperoleh pahala dari perbuatannya, tidak berharga seperempat bagian pun, daripada penghormatan yang diberikan kepada orang yang hidupnya lurus",

"Biarpun banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai ajaran, maka orang lengah itu, sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain, Ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci".